Jakarta - Sejumlah media massa, beberapa tahun belakangan intens membahas berita, peristiwa, hingga aplikasi digital, baik di Indonesia maupun dunia. Ini hal wajar mengacu peningkatan teledensitas dan pertambahan jumlah pengguna layanan teknologi informasi komunikasi.
Akan tetapi, dalam pengamatan penulis, aspek privasi data digital cenderung belum jadi concern tersendiri di media-media tersebut. Padahal, disadari atau tidak, era digitalisasi saat ini membuat privasi kita semua semakin ringkih.
Simak pola menggunakan media sosial, baik buatan dalam negeri maupun asing. Layanan hanya bisa diakses apabila kita sudah memasukkan alamat surat elektronik dan sejumlah data pribadi yang relatif konfidensial.
Dalam skala lebih luas dan massif, semisal yang paling menyedot perhatian masyarakat Indonesia yakni e-KTP, berbagai data pribadi privat dikoleksi pemerintah dan tidak menutup kemungkinan berpindah tangan ke pihak tertentu.
Demikian pula dengan e-goverment, e-procurement, e-health, dan banyak lagi. Seluruh aplikasi telematika ini juga hanya bisa berfungsi jika data pribadi Anda yang personal dimasukkan dulu dalam database.
Cerita ini bisa lebih 'mengerikan' jika kita mengingat layanan sektor bisnis pun menganut pola serupa. Presedennya pun sudah ada dan makin menjadi belakangan, yakni bocornya nomor ponsel ke oknum telemarketing.
Bahkan ditenggarai sektor perbankan dan pihak ketiga bekerjasama dengan melanggar privasi karena menyebarluaskan data pribadi nasabah tanpa sepengetahuan pemilik data.
Akibatnya, banyak dari kita, termasuk pembaca Detikinet rasakan kini, muncul aneka promosi produk melalui pesan singkat/broadcast message ke ponsel, email, dst, dalam penawaran kartu kredit dan kredit tanpa agunan.
Kasus besar lainnya adalah dugaan kebocoran 25 juta data pelanggaan telekomunikasi, sehingga banyak iklan masuk tak dihendaki melalui telepon genggam. Bisa jadi, daerah privasi Anda sudah tak ada!
Di sisi lain, riset Lembaga Yayasan Konsumen Konsumen Indonesia (YLKI) dalam Seminar Pengaturan Perlindungan Data Pribadi Fakultas Hukum Unpad di Jakarta, beberapa waktu lalu menunjukkan mayoritas operator telekomunikasi dan perbankan belum sepenuhnya konsisten menerapkan perlindungan data pribadi. Masih ada ketidakseragaman satu dengan lainnya.
Contohnya privacy policy pada laman sebuah perbankan yang sebatas untuk keperluan rekrutmen karyawan. Ada pula dua bank asing yang beroperasi di Indonesia namun hanya memiliki privacy policy Bahasa Inggris -- sekalipun konsumen terbesar mereka di Indonesia adalah WNI.
Lebih prihatin, ada juga perbankan yang menyodorkan privacy policy di situsnya, namun ketika dibuka kosong melompong. Sementara operator telekomunikasi di Indonesia relatif lebih parah.
Edukasi privasi ini hanya baru dilakukan satu operator. Selebihnya menerapkan perlindungan data dengan proses registrasi-klarifikasi data pelanggan, terutama pada nomor pasca bayar.
Privasi adalah hak individu dan harus mendapat perlindungan negara, terlebih privasi juga telah diatur lima instrumen hukum internasional, khususnya instrumen hukum hak asasi manusia.
Contohnya Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 1948 (UDHR) dan Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) 1966, dimana privasi dikelompokan menjadi suatu hak dasar (fundamental rights) atas kehidupan pribadinya dan hak tersebut harus dilindungi negara (Alfredsson and Asbjorn Eide (ed), The Universal Declaration of Human Rights).
Di Indonesia, privasi sebetulnya telah implisit diatur dalam UUD 1945 yakni Amademen keempat yaitu dalam pasal 28 (g) ayat 1 dan undang-undang lainnya. Namun memang pengaturannya sangat minimal.
Karenanya belum bisa memberikan perlindungan masyarakat Indonesia seperti dalam Undang-Undang No 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang No,12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR, Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Terlebih prakteknya hingga saat ini, Indonesia belum mengatur secara khusus privasi data pribadi dan tampaknya belum jadi prioritas pemerintah. Ini berbalikan dengan riset Profesor Graham Greeleaf dari Universitas New South Wales, Sydney Australia, yang menyebutkan 89 negara telah mengatur perlindungan data pribadi, baik secara online maupun offline.
Di Asia Tenggara, kita masih tertinggal negara lain, posisinya baru sejajar dengan Birma, Laos, dan Kamboja. Karena itulah, di era digital ini, pengaturan hak privasi semakin mendesak dilakukan seluruh pemangku kepentingan di negeri ini.
Penulis merekomendasikan pemerintah segera menyiapkan naskah rancangan Undang-Undang Perlindungan Data dan menjadikan salah satu agenda pembahasan prolegnas di parlemen. Secara simultan, mari didik masyarakat tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam upaya melindungi data pribadi.
Kepada masyarakat, terutama pembaca Detikinet yang akrab dengan layanan digital, juga agar lebih selektif memberikan data pribadi ke pihak ketiga dewasa ini. Pastikan dulu sudah membaca dan memahami kebijakan privasi yang ditetapkan pihak ketiga. Mari jadikan hidup kita lebih nyaman.
|
Tentang Penulis: Dr.Hj.Sinta Dewi, SH, LL.M merupakan Dosen Cyberlaw Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. |
(ash/ash)