Jakarta - Big data, kata-kata ini mulai sering kita dengar. Sesuai namanya, big data secara harfiah memang bisa diartikan sebagai tren ledakan data seiring terus naiknya tingkat adopsi internet.
Bayangkan saja. Di era teknologi saat ini, orang sejak lahir hingga menghembuskan nafas yang terakhir bisa menghasilkan tumpukan data yang tak terhingga. Kalau diibaratkan lembaran kertas, mungkin tumpukannya bisa melampaui puncak gunung tertinggi.
Tak percaya? Saat lahir, para orang tua zaman sekarang sudah sibuk memposting foto kelahiran anaknya via Facebook, Twitter, Path, dan social media sejenisnya. Belum lagi jika kabar itu juga dikirimkan lewat BlackBerry Messenger, email, WhatsApp, dan messaging lainnya.
Andaikan tiap foto itu berukuran 100 KB sampai 5 MB, jika saja ada seribu anak yang terlahir setiap hari di dunia, bisa dibayangkan berapa jumlah data yang tertumpuk setiap harinya, setiap minggu, setiap bulan, atau bahkan dalam setahun.
Belum lagi jika data-data tersebut terduplikasi. Bayangkan saja dalam seumur hidup manusia, berapa juta data yang dihasilkan tiap orang. Catat! Ada lebih dari enam miliar penduduk di bumi ini.
Lantas, apakah data hanya dihasilkan manusia? Tidak juga. Dengan tren machine to machine (M2M), tumpukan data bisa makin meledak. Jumlahnya bisa tak terhingga berlipat ganda.
Peluang Bisnis
Mungkin banyak orang yang tak peduli dengan fenomena big data. Tidak peduli karena biasanya, sesuatu yang tidak terlihat secara kasat mata tidak akan dianggap sebagai ancaman atau bahkan peluang.
Gampangnya, kalau data penuh di hardisk atau flashdisk, misalnya. Ya, tinggal hapus saja data yang sudah tidak penting. Semudah itu. Tapi di internet beda.
Tumpukan data yang menggunung di server cloud milik Google, misalnya, itu tidak akan dibuang. Malah tumpukan data yang menggunung bak sampah itu dianggap sebagai ladang uang.
Limbah data itu diolah, dianalisa, dan dijadikan bahan untuk jualan. Dari tumpukan sampah data, beserta keyword yang biasa kita ketik saat searching di internet, itu jelas jadi duit bagi Google dkk.
Maka tak heran kalau belakangan, buzzing soal big data mulai santer terdengar. Data bisa jadi lumbung uang yang jumlahnya tak terhingga untuk terus digali.
Tak terkecuali bagi SAS Institute, anak usaha perusahaan software dan business analytics global dari SAS Inc itu juga telah jauh-jauh hari menyadari bahwa big data bisa jadi pemasukan terbesar mereka untuk memasarkan solusi Customer Intelligence di Indonesia.
"Solusi analisa perilaku pelanggan dalam Customer Intelligence dapat melakukan komunikasi ke target pelanggan secara lebih personal. Solusi ini dapat mengatasi big data dengan mendesain interaksi marketing untuk meningkatkan keputusan bisnis secara real time," kata Erwin Sukiato, Country Manager SAS Indonesia.
Menurutnya, solusi big data diperlukan atau tidak tergantung pada perspektif dan tujuan perusahaan pengguna. Yakni, apakah perusahaan pengguna menilai big data dan data analitik sebagai aset atau bukan.
Untuk perusahaan seperti Telkomsel, jelas data merupakan aset. Kalau tidak, mana mungkin anak usaha Telkom ini rela menghamburkan uang USD 450 juta hanya untuk menganalisa data.
Dari data itu, mereka bisa menganalisa kebiasaan para pelanggannya, dan pada akhirnya dijadikan alat untuk menjual layanan yang tepat dibutuhkan pelanggan.
Daniel Tumiwa, Ketua Umum Indonesia e-Commerce Association (idEA), mengatakan solusi big data cocok untuk digunakan oleh enterprise yang masuk ke bisnis e-commerce. Misalnya, Telkomsel yang saat ini memiliki sekitar 130 pelanggan dan sedang mengembangkan bisnis e-commerce.
Menurutnya, enterprise besar seperti Telkomsel memang membutuhkan data analitik, apakah total investasi iklan ke iklan digital yang sudah diposkan akan berlaku signifikan ke peningkatan pendapatan atau tidak. Untuk itu, enterprise seperti itu butuh analisa pelanggan agar pemasaran digitalnya efektif.
"Kalau dulu iklan banyak masuk ke media televisi, melalui analisa ini iklan perusahaan bisa banyak masuk ke iklan digital," kata Daniel.
Selain Telkomsel, jelas masih banyak perusahaan-perusahaan maupun operator telekomunikasi yang juga melakukan hal yang sama. Di tengah kompetisi sengit, informasi yang lebih up to date dari tumpukan data olahan jelas menjadi senjata yang ampuh untuk memenangkan pasar.
(rou/rou)