Jakarta - Di balik keriuhan Massive Open Online Course (MOOC) serta
excitement para pesertanya,
like or dislike, ada beberapa pandangan lain -- lebih tepatnya kritik mengenai platform ini. Terutama kalangan pendidikan tinggi yang turut serta dalam platform itu sendiri (internal), maupun berbagai pihak di luarnya.
Walaupun ada pihak lain di luar keduanya, namun artikel kali ini mengerucut pada pandangan mereka yang merupakan akademisi pendidikan tinggi.
Melanjutkan artikel sebelumnya -- yang juga dimuat di detikINET -- bulan lalu penulis terlibat dalam diskusi via email dengan beberapa pengajar baik Profesor maupun Doktor di perguruan tinggi di Amerika Serikat dengan keahlian dan latar belakang riset Instructional Design serta Distance Learning.
Dalam usahanya menyelami learning experience dalam platform ini, penulis sendiri mengikuti beberapa courses sejak awal tahun dengan fokus pada kegiatan belajar mengajar, interaksi dengan sesama peserta, kualitas tugas, kuis dan ujian, sampai dengan grading systems.
Memang terasa sekali kegembiraan dan antusiasme seluruh stakeholder. Terutama peserta, dari berbagai negara dari lima benua. Ya, ruang dan waktu menjadi irrelevant. Kegembiraan dan semangat siswa sebagai peserta dalam mengikuti mata kuliah sangat terasa sekali.
Banyak di antaranya terpesona dan terpukau dengan reputasi dan karisma Profesor tertentu selaku pengajar, susunan silabus dan kualitas materi perkuliahan, khususnya partisipan dari emerging dan less-developed countries.
Bagi penikmat, terlebih lagi pemerhati, tentunya akan menyadari downside platform terbaru ini. Standar pendidikan, kredibilitas penilaian, kualitas pembelajaran dan pada akhirnya kualitas lulusan merupakan hal-hal yang perlu digarisbawahi dan menjadi perhatian utama. Faktor ini juga menjadi sorotan dan sasaran dalam perspektif kritis yang disampaikan oleh mereka.
Image Credit: StudyUSA
Di sisi lain, kita jelas sepenuhnya sadar bahwa MOOC sangatlah menggoda bagi institusi pendidikan dan jajaran civitas akademianya karena platform tersebut bisa menjadi ladang baru, atau revenue stream tambahan, bahkan kemungkinan bisa menjadi pendapatan utama di masa akan datang karena potensi jangkauan dan jumlah peserta sangatlah besar.
Harap diingat dengan memiliki satu unit komputer dan koneksi internet, maka siapapun, di manapun, kapanpun dan darimana pun siswa berasal, mereka bisa mengikuti mata kuliah yang ditawarkan. Sekedar informasi tambahan: Rasio penerimaan siswa dari sekian banyak applicant (acceptance rate) di Universitas Harvard tahun lalu ada di angka 5.9 persen.
Walaupun sektor pendidikan mengusung misi idealisme dalam setiap nafas aktivitasnya, seiring dengan makin ketatnya persaingan dalam memperoleh siswa, kesempatan untuk memperoleh tambahan pendapatan jelas sulit ditampik apalagi ditolak.
Image credit: CareerGeekBlog
Dari pihak internal sendiri, contohnya Harvard dalam inisiasi HarvardX, pro dan kontra terkuak. Beberapa Profesor mengajukan surat tertulis kepada para petinggi menyatakan bahwa mereka mempertaruhkan reputasinya saat memutuskan untuk turut serta mengembangkan dan berpartisipasi dengan MIT dalam platform edX.
Namun beberapa profesor lain justru sangat ingin dan mengajukan proposal menawarkan beberapa mata kuliah yang akan diajarnya.
Sementara itu, University of Texas at Austin, memutuskan terjun ke MOOC dengan dua tujuan. Pertama, menjaga market leadership mereka di antara perguruan tinggi di Negeri Paman Sam, selain ingin mengekplorasinya sebagai kanal baru dalam menjangkau siswa di belahan negara lain.
Professor dan Chair of Learning Technologies di University of North Texas, Mike Spector, beranggapan bahwa MOOC perlu mengakomodasi personalized learning environment dimana profil siswa dan analisa data berkelanjutan digunakan untuk menentukan pendekatan serta pemilihan aktivitas pembelajaran terhadap siswa tertentu. Lebih lanjutnya, tahapan analisa, perencanaan, ujian, dan proses instructional design lainnya jarang sekali digunakan.
Kita sadar bahwa sudah seharusnya formative feedback, sebagai faktor terpenting dalam pembelajaran formal, nyaris tidak terlihat, atau apabila ada, implementasinya relatif lemah. Namun dia berharap, gegap gempita MOOC ini apabila mereda akan digantikan oleh kesadaran para institusi pendidikan dan pengajarnya untuk menjalankannya.
Hal senada disampaikan Roger Kaufmann, Emeritus Professor di Florida State University. Seringkali digelari sebagai 'Bapak' Teknologi Pembelajaran (Educational Technology atau ET) dan Needs Assessment, beliau beranggapan dengan tidak adanya needs assessment, need analysis, targeted population assessment, targeted learning design dan continuous improvement, aktivitas belajar dengan MOOC kehilangan rohnya. Sehingga, menurutnya saat ini platform tersebut lebih cocok untuk pembelajaran informal (non-degree dan training).
Berangkat dari pandangan di atas, University of Texas at Brownsville, institusi tempat penulis menjadi guest lecturer di program pasca sarjana ET dengan e-learning platform mereka, mengambil langkah konservatif dalam berpartisipasi dan memanfaatkan tren ini.
Komite khusus sudah dibentuk. Dua full-time educational technologist berperan sebagai learning designer dan learning facilitator sudah disiapkan. Tugasnya mendesain proses pembelajaran, termasuk analisa, perencanaan, tugas, kuis, proyek akhir sampai dengan penilaian. Bila disetujui oleh pihak berwenang, maka mereka akan bermitra dengan pihak ketiga untuk platform, strategi dan keperluan belajar-mengajar lainnya.
Larry Johnson, CEO New Media Consortium sebagai wadah ratusan universitas, museum dan pusat penelitian seluruh dunia bernaung, beranggapan sebaliknya. Secara positif, MOOC akan memberikan anti-tesis terhadap mainstream atau conventional online learning mulai dari penentuan jumlah credit hours, waktu belajar, penilaian sampai dengan interaksi.
MOOC menawarkan sesuatu yang baru, dengan membludaknya peserta, jumlah alokasi dana, kemungkinan tambahan pendapatan, ditambah lagi dengan diakomodasinya berbagai ide dan eksperimen. Larry beranggapan semua hal itu akan membuka wawasan dan wacana baru, yang positif dan konstruktif tentunya.
Sesuatu yang sukar sekali, nyaris mustahil, dilakukan di platform e-learning konvensional yang sudah berjalan hampir dua dekade terakhir. Idealnya, semua online course harus memiliki standar serupa dengan face-to-face lecture. Tidak hanya sama namun juga tinggi dengan mempertimbangkan faktor perencanaan, desain, implementasi dan evaluasi.
Semua pandangan di atas merupakan opini pribadi para tokoh tersebut, tidak mewakili institusi tempat mereka bernaung. Dan pada akhirnya, dari perspektif pendidik dan akademisi, jelas mereka mengetahui betul bahwa suksesnya pembelajaran sangat tergantung dari proses learning design dan dari sudut pandang etika serta kode etik profesi, jika berpartisipasi dalam platform MOOC, sebagai lecturer maupun advisor, mereka harus bukan hanya memperhatikan namun juga menekankan dan mengimplementasikannya.
Sementara itu, bagi pihak lain, stay calm and keep studying at MOOC.
|
Tentang penulis: Goutama Bachtiar merupakan Founder Consultoria dan Contenindo, konsultan teknologi informasi, trainer, content producer, dan courseware developer. Bisa dihubungi lewat Twitter: @goudotmobi, surel: goutama@gmail.com dan LinkedIn: www.linkedin.com/in/goutama. |
(ash/ash)