Jakarta - Pada konferensi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) e-Indonesia Initiatives Forum ke-9 di ITB, Direktur Perkotaan Bappenas mendapat pertanyaan peserta, apakah DKI Jakarta itu sudah bisa disebut sebagai kota cerdas?
Jawaban yang muncul adalah relatif baik atau kurang dibandingkan dengan kota lain di dalam negeri atau luar negeri.
Sampai saat ini belum ada pengukuran yang bisa diterima secara tegas untuk menilai apakah kota itu cerdas atau belum, termasuk definisi kota cerdas itu sendiri. Kita coba lihat kasus DKI yang saat ini banyak diberitakan mempunyai inovasi-inovasi baru untuk pelayanan suatu kota.
Jokowi-Ahok telah meluncurkan 3 kartu dalam program 100 hari pemerintahan di DKI, mulai dari kartu cerdas, kartu sehat hingga uang elektronik untuk pembayaran trans Jakarta.
Selain itu perekaman rapat-rapat yang kemudian diunggah di YouTube ataupun pelelangan jabatan menggunakan TIK merupakan inovasi atau terapi kejutnya.
Namun menarik juga berita beberapa hari terakhir, tentang keberadaan Kartu Jakarta Sehat (KJS), menuai beberapa masalah, seperti mundurnya beberapa rumah sakit dalam melayani Kartu Jakarta ini.
Rumah sakit merasa dirugikan. Selain itu ketidaksiapan sarana dan prasarana yang memadai untuk pelayanan ini menyebabkan keluhan pasien yang harus dilayani.
Contoh lain adalah debat tentang pengembangan dan implementasi e-KTP, ini juga cukup menarik, apakah warga harus memakai banyak kartu, atau cukup 1 kartu tetapi multiguna?
Secara teknologi memungkinkan, namun secara praktek maskih banyak masalah. Siapa yang mengeluarkan? Kemendagri, Perbankan, Kemenkes, Kemenhub atau siapa?
Kartu sehat, kartu cerdas maupun uang-elektronik merupakan komponen inovasi layanan kota. Kartu itu dianggap cerdas jika memang bisa menjadikan warga bisa dilayani dengan mudah, murah dan nyaman hidup.
Apakah kota cerdas hanya dilihat dari keberadaan komponen TIK dalam suatu kota? Ternyata itu tidak cukup, kalau tidak dirancang dengan baik, ada kemungkinan resiko pemalsuan, kemudian apakah setiap warga yang mendapat kartu tersebut bisa dilayani semua? Apakah pelayan (server), mencukupi dengan jumlah pasien atau warga yang ada?
Kartu Sebagai Kampanye
Semua pimpinan kota tentu ingin mengelola dan memajukan semua sumber daya manusia, alam, potensi kota dan lainnya agar kotanya lebih baik. Konsep kartu sehat dan pendidikan atau yang sejenis sering jadi ajang janji politik dalam program kampanye pimpinan daerah. Sementara itu sumber daya pelayan mungkin masih belum siap.
Secara umum kota cerdas bisa didefinisikan sebagai suatu kota yang dapat mengelola sumber daya manusia, sumber daya alam dan potensi kotanya sehingga dapat menjadikan kota tersebut menjadi lebih nyaman, aman dan sejahtera. TIK memegang peranan penting dalam menjadikan kecerdasan kota tersebut .
Konsep kota cerdas telah diusulkan beberapa organisasi maupun industri. Konsep ini meliputi diantaranya: pemerintahan cerdas, transportasi cerdas, kehidupan sosial, pendidikan dan kesehatan yang cerdas, penggunaan energi yang cerdas, pembangunan ekonomi yang cerdas dan pemantauan lingkungan yang cerdas.
Komponen TIK pada intinya bisa menggantikan proses yang selama ini dilakukan secara manual oleh pemangku kepentingan. Komponen tersebut adalah sensor, jaringan dan pelayan (server), yang didalamnya ada komponen pemerintah, masyarakat dan industri.
Contoh sederhana, 'blusukan' seorang pimpinan daerah, hakekatnya adalah untuk mengamati sumber daya atau keadaan sebenarnya dalam suatu kota, baik masalah kemiskinan, kesehatan maupun kondisi alam (banjir, longsor dll).
Kecerdasan akan terjadi atau meningkat jika proses pengamatan itu bisa digantikan dengan sensor identitas, maupun sensor alam. Dengan pengamatan multisensory ini, tugas pimpinan lebih mudah dan bisa menjangkau di semua wilayahnya, bahkan secara transparan tidak hanya 'pencitraan'.
Selanjutnya komponen jaringan yang tersedia dalam suatu kota akan membantu proses pengamatan sensor untuk bisa dikirim ke server dalam orde detik.
Setelah itu tergantung dari sistem dan prosedur apakah perlu proses pengambilan keputusan oleh pimpinan daerah atau bisa langsung otomatis menggerakan komponen lainnya, yang biasa disebut sebagai teknologi M2M (machine to machine).
Proses pelayanan akan melibatkan sumber daya dan penyelenggara, misalkan rumah sakit untuk kesehatan, dana beasiswa untuk pendidikan, anggaran pemerintah untuk bantuan UKM misalnya.
Jumlah kebutuhan warga yang dilayani dan kemampuan suatu kota melayani kebutuhan itulah yang harus dipehatikan. Jika tidak, akan menyebabkan jurang sehingga bisa menimbulkan ketidaknyamanan bahkan kerugian yang menyebabkan kebangkrutan layanan kota.
Transformasi Budaya
Kemajuan teknologi cukup cepat, hanya saja kemampuan mengadopsi atau menjalankannya perlu diperhatikan dengan baik. Banyak warga masyarakat bahkan birokrat belum bisa menggunakan dan mengerti teknologi.
Penggunan teknologi yang ada belum dimanfaatkan secara maksimal, bahkan mungkin cenderung ikut-ikutan. Transformasi pola pikir dan pola tindak perlu disiapkan agar pelaksanaanya selaras dengan manfaatnya.
Pada hakekatnya memang teknologi itu jika berhasil akan menjadi budaya dalam suatu wilayah, negara bahkan dunia. Hanya saja bagaimana teknologi itu bisa tepat sasaran maka aspek manusia yang cerdas (smart people) dan organisasi yang cerdas juga harus diperhatikan, sehingga akan menjadi kebutuhan penting.
Peranan pimpinan daerah menjadi sangat penting untuk menggerakan segenap elemen yang ada di kota menjadi lebih tepat guna menggunakan teknologi untuk kemajuan kotanya. Kecerdasan bisa ditingkatkan melalui proses belajar sepanjang hayat.
Perancangan dan pembangunan kota cerdas harus dibuat sedemikian rupa mengikuti kaidah yang baik, jangan asal janji, tapi juga bisa melihat lebih menyeluruh dan sumberdayanya cukup.
Perencanaan dan pengembangan yang melibatkan manusia dan komponen kota harus diperhatikan dengan baik. Teknologi, Sosial dan Kebijakan mengambil butir penting yang harus diperhatikan.
*) Penulis, Suhono Harso Supangkat merupakan Penggiat Pembangunan Smart City dan Guru Besar Teknologi Informasi ITB.
(ash/ash)