Melirik 'Tambang Emas' di Bisnis Iklan




ilustrasi (ist)


Jakarta - Selama ini kita melihat operator telekomunikasi sebagai salah satu penyumbang terbesar dalam industri periklanan di Tanah Air. Di tengah tekanan untuk terus menambah pundi-pundi keuangannya, operator pun mulai berbalik ingin memangsa industri pariwara ini.

Tentu masih segar di ingatan kita, sekitar 3-5 tahun lalu saat perang tarif mencapai puncaknya, spot premium baik di televisi, media cetak, maupun media luar ruang, dijejali dengan iklan-iklan operator yang saat itu berlomba menjadi yang paling murah.


Jor-joran iklan yang sudah pasti melibatkan uang dalam jumlah besar, baru mulai mereda sekitar dua tahun terakhir, ketika para operator tersebut mulai merasakan dampak dari fenomena 'dumb pipe' dari para pemain over-the-top (OTT) yang secara langsung mengancam eksistensi seluruh operator di dunia.


Dengan latar belakang seperti itu, maka menjadi menarik manakala menyaksikan dalam beberapa hari terakhir, setidaknya dua operator besar mulai mencoba masuk ke dalam bisnis periklanan dengan memperkenalkan platform mobile advertising mereka.


Mekanisme penayangan iklan yang digunakan masih cukup sederhana, yaitu saat kita hendak membuka sejumlah situs populer, terlebih dahulu kita akan 'dipaksa' untuk melihat satu halaman iklan dengan diiming-imingi penawaran 'halaman yang Anda tuju adalah halaman bebas biaya GPRS'.


Langkah operator untuk mencoba mengambil jatah dari kue bisnis iklan, sepertinya menjadi salah satu jurus untuk mencari sumber pendapatan baru di saat terus tergerusnya pendapatan dari bisnis jaringan.


Beralih ke Digital


Di tahun 2012 saja, nilai uang yang berputar di industri periklanan Tanah Air berada di kisaran Rp 85 triliun, dimana 65 persennya dinikmati oleh televisi.


Sebetulnya, sejak beberapa waktu belakangan, sejumlah operator telekomunikasi sudah mencoba untuk masuk ke bisnis ini melalui SMS iklan yang dikirimkan ke sejumlah pelanggan berdasarkan lokasi, seperti saat kita memasuki sejumlah mal kelas atas di Jakarta.


Hanya saja, karena SMS spam sudah menjadi penyakit kronis di negeri ini, maka SMS iklan yang dikirimkan dengan mekanisme location based itu tampaknya menjadi sangat tidak efektif. Karena itu, keputusan untuk memasuki bisnis iklan melalui mobile advertising sepertinya merupakan sebuah langkah yang menjanjikan.


Sebuah firma analis di Amerika Serikat baru-baru ini merilis data bahwa telah tejadi pergeseran dari efektivitas penempatan iklan di berbagai media.


Efektivitas iklan melalui televisi pelan-pelan sudah bergeser ke arah media digital, meskipun saat ini 85% anggaran iklan masih diserap oleh televisi, sementara iklan online hanya menerima 4 %, tapi ternyata tingkat konversi dari iklan online ini mencapai 25% dari total pembelian yang terjadi.


Fenomena yang terjadi di AS ini diyakini tidak lama lagi akan juga sampai di negara kita. Apalagi dengan semakin tingginya penetrasi internet ke seluruh pelosok yang sedang digeber oleh Kementerian Kominfo.


Sehingga, kehadiran operator telekomunikasi dalam menyajikan iklan mobile ini juga bisa dipandang sebagai serangan frontal kepada para pemain OTT yang selama ini mendominasi kue iklan online.


Masuknya operator ke bisnis iklan juga tidak bisa dianggap sebelah mata oleh para pemain tradisional industri ini, seperti media televisi dan cetak.


Seperti kita ketahui, efektifitas sebuah iklan sangat ditentukan dari pemilihan target pemirsa dari iklan itu. Dan pemilihan target ini sangat ditentukan oleh profiling dari pemirsa media iklan.


Media televisi sangat bergantung kepada AC Nielsen dalam menentukan profil dari program TV mana yang prime time mana yang bukan. Media cetak juga rajin melakukan survey pembacanya.


Sementara raksasa iklan online seperti Google, Yahoo dan Facebook, mendapatkan profil pengguna secara gratis dari para member yang secara sukarela setiap detik 'memberi makan' profiling engine dengan aktivitas yang dilakukan selama pengguna 'nongkrong' di situs-situs tersebut.


Tambang Emas


Lalu dari mana operator bisa mendapatkan profil target sehingga mampu menarik para pengiklan untuk memindahkan anggaran mereka dari media tradisional ke media mobile? Di sinilah terletak keunggulan operator dibandingkan pemain OTT yang selama ini mendominasi kue iklan online.


Kalau penyedia OTT sangat bergantung kepada feeding data oleh para pengguna di situs layanan mereka, maka operator sesungguhnya selama ini duduk di atas gunungan emas, karena mereka memiliki data dari lalu lintas data semua aktivitas internet mobile yang melalui jaringan mereka.


Namun sepertinya, dengan mekanisme iklan mobile yang baru-baru ini diperkenalkan, baru permukaan dari gunung emas ini yang 'digaruk', dimana iklan dimunculkan setelah sistem mendeteksi akses kepada alamat-alamat tertentu. Dan sistem masih melakukan pukul rata terhadap jenis iklan yang dimunculkan -- pokoknya kalau ada pengunjung ke situs X, maka iklan yang muncul harus A dan seterusnya.


Sebetulnya jika dilakukansniffing terhadap paket-paket data yang lewat di jaringan operator, akan didapatkan begitu banyak informasi yang bisa mencerminkan perilaku pengguna. Selain alamat situs, yang memang terang-benderang, dari satu nomor telepon yang melakukan akses internet mobile akan didapatkan juga tipe smartphone, tipe browser, frekuensi kunjungan ke situs tertentu, aktivitas apa saja yang dilakukan di situs tersebut, bahkan jika jalur yang digunakan tidak menggunakan enkripsi, bisa didapatkan 'isi' dari konten-konten data yang dilewatkan.


Semua ini tentu saja bisa dijadikan dasar profiling untuk mencocokkan jenis iklan apa yang akan dimunculkan kepada pengguna tertentu. Hanya saja sniffing terhadap data trafik yang sifatnya mengalir dalam jumlah yang sangat besar ini tentu tidak bisa dilakukan dengan mekanisme data mining biasa, karena tidak mungkin data dengan jumlah besar itu disimpan dulu, baru kemudian dianalisa.


Aliran data itu harus dianalisa 'on the fly', sehingga untuk melakukannya mutlak diperlukan kehadiran sistem pengolahan big data. Dan yang tidak kalah penting, karena data lalu lintas ini sangat mentah, diperlukan kehadiran sekelompok data scientist yang mampu menciptakan 'pertanyaan-pertanyaan' yang tepat dan berguna sebagai dasar analisa dari aliran data raksasa ini.


Masih ada satu isu tersisa dalam pengolahan data lalu lintas internet mobile untuk kepentingan iklan ini, yaitu isu privasi. Seperti diketahui, belum lama ini, sejumlah penyedia internet, termasuk salah satu operator terbesar di negeri ini, dituduh melakukan mata-mata terhadap data-data penggunanya. Menurut penulis sendiri, tuduhan kegiatan mata-mata itu masih sangat bisa diperdebatkan.


Selama yang dilakukan terhadap data itu adalah analisa perilaku terkait kegiatan komersial tanpa secara eksplisit memunculkan identitas pelanggan, maka kegiatan itu harusnya tidak bisa dikategorikan sebagai mata-mata.


Yang jelas, keberhasilan langkah operator dalam mengkavling pendapatan di industri iklan dan mengubahnya menjadi tambang emas baru akan sangat tergantung dari kecepatan mereka mengadopsi teknologi big data dan merekrut data scientist yang mumpuni. Karena dari situlah operator akan memiliki profil target yang layak jual kepada para pengiklan potensial.


Mochamad James Falahuddin

Praktisi Telematika – Direktur PT Codephile Rekadaya Mandiri

Twitter : @mjamesf


( rou / rou )


Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!