Ya, bagi sebagian orang, aktivitas buzzer mungkin masih dianggap mengganggu, karena isi timeline follower disesaki oleh kicauan pesanan iklan. Padahal jika dilihat dari sisi positif, tak seburuk itu juga.
Pengguna media sosial lain yang menjadi follower si buzzer sejatinya bisa mendapatkan informasi dari produk atau event yang coba ingin disampaikan. Namun memang, pengemasan informasi ini harus dibuat lebih menarik, agar tak dianggap nyampah alias iklan banget.
Menurut Lucy Wiryono, presenter yang juga penggiat media sosial, sebelum menjalani pekerjaannya, sebaiknya si buzzer harus mengetahui pengetahuan yang cukup akan
produk yang ingin dipromosikannya.
Intinya, jangan cuma mengejar uang. Buzzer juga harus menunjukkan tanggung jawab mereka dengan memiliki product knowledge yang cukup.
"Kemudian harus balance, jangan isi timeline cuma jualan terus. Brand memang memperacayakan kita sebagai informan, namun kepribadian kita juga jangan sampai hilang dengan menjadi buzzer," lanjut Lucy, dalam acara Ngopi Bareng detikINET, Jumat (28/6/2013) malam.
"Lainnya harus bertanggung jawab dan dilakukan dengan sepenuh hati," ia menandaskan.
Sementara menurut Kemas M.Fadhli, Head of Digital Media Department Telkomsel, persaingan yang semakin ketat membuat buzzer harus lebih kreatif dan eksploratif, sehingga dapat membuat konten yang lebih menarik.
"Masalah platform bisa di mana saja. Yang penting punya konten (untuk dijual). Namun buatlah untuk menjadi menarik," tukasnya.
Dian Adi Prasetyo, blogger dan social media lover menandaskan, aktivitas buzzer harus dilakukan secara positif dan informatif. Kalau ada kritik jangan sungkan pula untuk menyampaikan ke pemilik brand. Jadi jangan cuma bermulut manis, karena kritik seharusnya bisa menjadi masukan yang positif kepada brand tersebut.
"Lainnya pede aja, termasuk soal rate card (besaran honor)," pungkas @didut, sapaan akrabnya di dunia maya.
(ash/ash)