Gagal Tembus MVNO di Arab Saudi, Telkom Cari Jalan Lain

Jakarta - Manajemen Telkom akhirnya memberikan penjelasan terkait kegagalannya memperebutkan lisensi Mobile Virtual Network Operator (MVNO) di Arab Saudi. Apa katanya?

"Pada awalnya, Telkom memang berencana untuk masuk menjadi penyelenggara MVNO di Arab Saudi," ungkap Operation Vice President Public Relations Telkom Arif Prabowo, dalam keterangan pers, Senin (3/6/2013).


"Namun setelah dilakukan kajian lebih mendalam, kami memutuskan untuk menggunakan alternatif lain guna melayani WNI (warga Indonesia) yang ada di sana melalui pendekatan business to business, seperti melalui kerjasama co-branding dengan operator seluler di Arab Saudi," jelasnya lebih lanjut.


Arief mengungkapkan, ada tiga pertimbangan yang melatarbelakangi keputusan Telkom untuk tidak mengikuti tender lisensi MVNO di Arab Saudi.


Pertama, kewajiban operasi MVNO di seluruh wilayah Arab Saudi, termasuk memiliki pusat layanan di area-area tersebut. Kedua, layanan MVNO yang tidak diperbolehkan untuk etnis atau warga tertentu.


Ketiga, biaya investasi dan operasional MVNO hingga ketidakpastian keberlangsungan layanan MVNO di Arab Saudi yang masih berisiko tinggi untuk direalisasikan.


"Ada beberapa aspek untuk bisnis MVNO di Arab Saudi yang kami lihat kurang sesuai dengan rencana Telkom yang akan memfokuskan layanan komunikasi kepada WNI yang menetap di Arab Saudi," tambah Arief.


Jika melihat dokumen tender yang dirilis The Communications and Information Technology Commission (CITC), selain membanderol satu lisensi MVNO senilai USD 1,33 juta atau setara Rp 13,039 miliar, terdapat persyaratan teknis yang memang sulit dipenuhi Telkom.


Persyaratan teknis itu adalah menjalankan bisnis MVNO di dua negara selain negara asal. Berikutnya, memiliki 500 ribu pelanggan MVNO dan total pendapatan kotor tahunan dari semua bisnis MVNO yang selama lima tahun terakhir minimal 250 juta Riyal Arab Saudi atau sekitar Rp 653 miliar di salah satu negara dari tiga tahun terakhir.


Dalam situs CITC, persyaratan lainnya yang juga dianggap penting oleh Arab Saudi adalah bukti kontribusi menguntungkan untuk pasar telekomunikasi di setiap pasar luar negeri.


Persyaratan itu yang pada akhirnya membuat tak ada nama Telkom saat CITC mengumumkan lima kandidat yang lolos untuk merebut lisensi MVNO, yakni konsorsium Axiom Mobile, Virgin Mobile Saudi Consortium, Jawraa Consortium Lebara, FastNet Consortium, dan Safari Consortium.


Telkom sendiri baru masuk dalam bisnis MVNO pada Oktober 2012 lalu di Hong Kong bekerjasama dengan Hong Kong CSL Limited. Dalam waktu dua bulan produk kartu AS 2 in 1 di Hong Kong memiliki sekitar 24 ribu pelanggan dan ditargetkan meraih 100 ribu pelanggan di akhir tahun ini.


Sebelumnya, Direktur Utama Telkom Arief Yahya mengungkapkan model bisnis MVNO akan diadopsi untuk mendukung ekspansi ke Malaysia, Arab Saudi, Macau, Taiwan.


"Untuk business follows the people, kita lihat di mana masyarakat Indonesia itu berada. Sedangkan business follows the money, kita lihat negara yang memiliki potensi pasar tinggi. Misalnya, dari sisi gross domestic product," jelasnya.


Ia menjelaskan, Arab Saudi salah satu negara yang dibidik karena terdapat satu juta warga negara Indonesia di sana. Menurutnya, strategi business follows the people tepat dilakukan. Di masa depan, strategi ini akan dilakukan juga di sejumlah negara seperti Malaysia, Arab Saudi, Macau, Taiwan, dan beberapa negera lain dengan karakteristik sejenis.


Telkom di sepanjang 2013 ini membidik 10 negara untuk ekspansi yakni Timor Leste, Malaysia, Australia, HongKong, Singapura, Macau, Taiwan, Korea Selatan, Arab Saudi, dan Myanmar.


Di Myanmar, Telkom gagal mendapatkan lisensi seluler dan banting setir akan menggarap pasar bisnis teknologi informasi. Penyebab kegagalan Telkom di Myanmar hampir mirip dengan di Arab, tersandung di persyaratan yang harus memiliki pengalaman pernah beroperasi dua tahun di pasar luar negeri dan mengelola satu juta pelanggan.


(rou/ash)