Apa yang Bikin Telkom Kandas di Arab?

Jakarta - Telkom kalah bersaing dari lima konsorsium telekomunikasi raksasa untuk memperebutkan satu dari tiga lisensi Mobile Virtual Network Operator (MVNO) di Arab Saudi. Apa penyebab kekalahannya?

Jika melihat persyaratan dalam dokumen tender yang yang dirilis The Communications and Information Technology Commission (CITC), selain membanderol satu lisensi MVNO senilai USD 1,33 juta atau setara Rp 13,039 miliar, terdapat persyaratan teknis yang memang sulit untuk dipenuhi Telkom.


Persyaratan teknis itu adalah menjalankan bisnis MVNO di dua negara selain negara asal. Berikutnya, memiliki 500 ribu pelanggan MVNO dan total pendapatan kotor tahunan dari semua bisnis MVNO yang selama lima tahun terakhir minimal 250 juta riyal atau sekitar Rp 653 miliar di salah satu dari tiga tahun terakhir.


Dalam situs CITC disebutkan, persyaratan lainnya yang juga dianggap penting oleh Arab Saudi adalah bukti kontribusi menguntungkan untuk pasar telekomunikasi di setiap pasar luar negeri.


Persyaratan ini pula yang pada akhirnya membuat CITC tak meloloskan nama Telkom dengan memilih lima kandidat untuk merebut tiga lisensi MVNO, yakni konsorsium Axiom Mobile, Virgin Mobile Saudi Consortium, Jawraa Consortium Lebara, FastNet Consortium, dan Safari Consortium.


MVNO sendiri adalah penyelenggaraan layanan jasa telekomunikasi bergerak dalam bentuk suara dan data, dimana penyelenggara tersebut tidak memiliki izin atas spektrum frekuensi atau lisensi jaringan akses, tetapi dapat menyewa atau memakai spektrum frekuensi milik Mobile Network Operator (MNO) melalui suatu perjanjian bisnis.


Telkom sendiri baru masuk dalam bisnis MVNO pada Oktober 2012 lalu di Hong Kong bekerja sama dengan Hong Kong CSL Limited. Dalam waktu dua bulan produk kartu AS 2-in-1 di Hong Kong memiliki sekitar 24 ribu pelanggan dan ditargetkan meraih 100 ribu pelanggan di akhir tahun ini.


Sebelumnya, Direktur Utama Telkom Arief Yahya mengungkapkan model bisnis MVNO akan diadopsi untuk mendukung ekspansi ke Malaysia, Arab Saudi, Macau, Taiwan.


"Untuk business follows the people, kita lihat di mana masyarakat Indonesia itu berada. Sedangkan business follows the money, kita lihat negara yang memiliki potensi pasar tinggi. Misalnya dari sisi gross domestic product," ungkap Arief beberapa waktu lalu.


Ia menjelaskan, Arab Saudi salah satu negara yang dibidik karena terdapat satu juta warga negara Indonesia di sana.


Menurutnya, strategi business follows the people tepat dilakukan. Di masa depan, strategi ini akan dilakukan juga di sejumlah negara seperti Malaysia, Arab Saudi, Macau, Taiwan, dan beberapa negera lain dengan karakteristik sejenis.


Tahun ini Telkom membidik 10 negara untuk ekspansi yakni Timor Leste, Malaysia, Australia, Hong Kong, Singapura, Macau, Taiwan, Korea Selatan, Arab Saudi, dan Myanmar.


Di Myanmar, Telkom setelah gagal mendapatkan lisensi seluler memilih banting setir untuk menggarap pasar teknologi informasi. Telkom gagal di Myanmar juga karena tersandung persyaratan harus memiliki pengalaman pernah bermain dua tahun di pasar luar negeri dan mengelola satu juta pelanggan.


(rou/ash)