Terhempas Derasnya Timeline Informasi




Ilustrasi (Ist.)


Jakarta - Media sosial (medsos), khususnya Twitter, menyajikan informasi secara real time dan cepat. Jika aktif mencari follower, timeline alias linimassa seperti percikan informasi yang tanpa akhir.

Sebaliknya juga terjadi, jika aktif dicari follower, maka tab mention akan memberi notifikasi tanpa akhir. Inilah luberan aliran informasi (information overflow). Bagaimakah gejala-gejalanya? Bagaimana pula mengatasinya?


Mengambil Sikap


Mengkaji fenomena medsos memang bisa menggunakan beberapa pisau analisis, bahkan bisa juga secara multidisipliner. Oleh karena itu, politik Indonesia juga dapat diamati.


Setelah melihat data yang ada, terdapat kecenderungan golput tinggi di beberapa pilkada, padahal info dari kandidat di medsos sangat gencar. Apatisme yang sangat tinggi dari voter, telah menyebabkan incumbent menjadi pemenang di beberapa pilkada tersebut.


Masih merupakan suatu asumsi atau hipotesis, yaitu 'kebisingan politik',yang mengakibatkan melubernya informasi. Di medsos, dapat saja menjadi salah satu penyebab apatisme voter.


Contoh yang juga sangat terkenal adalah kasus Amanda Todd, yang tadinya bahagia di dunia nyata. Namun saat buka internet, mendapat info yang tidak dibutuhkan, yang menghancurkan dirinya.


Di Indonesia, kasus penculikan, perkosaan, penipuan, melalui 'teman' Facebook sudah bukan cerita baru lagi. Semua adalah akibat dari belum siapnya seorang user mencerna informasi yang membanjir di medsos.


Dalam konteks medsos Twitter, mem-follow banyak akun, yang dipikir akan memberi banyak informasi, seperti artis, politisi, dan sebagainya. Tapi akhirnya tidak mendapat apa-apa, karena linimassa berjalan sangat cepat. Kecepatan aliran informasi tersebut akan menjadi sangat sukar difilter, karena ia datang secara terus menerus.


Dalam konteks psikologi dan teori informasi, menerima informasi dalam jumlah banyak, tanpa proses filtering yang baik, akan menyebabkan pikiran kita rusak. Eksperimen sederhana dengan port/database injection membuktikan hal itu.


Sistem informasi akan break down, jika dikirim informasi dalam jumlah besar, yang tak dapat difilter. Eksperimen email spamming kepada email server juga bisa menghasilkan efek yang sama. Hal ini bisa berlaku, dan dianalogikan juga pada manusia.


Dengan kata lain, medsos dapat menjadi candu, jika tidak ada filter informasi pada user itu sendiri. Candu yang perlahan-lahan menguasai sanubari dan mengganggu emosi dan mood dari user itu sendiri.


Membangun Filter Kesadaran


Berbagai metode advokasi sudah banyak, namun tetap harus dioptimalkan pendampingan oleh orang tua sendiri. Parenting memang adalah kunci dalam menghadapi luberan informasi yang begitu derasnya.


Sebagai bukti, banyak user yang menggunakan medsos, namun mereka justru mendapatkan keuntungan positif, dan bahkan membantu sesamanya. Hal tersebut, bisa dipastikan, salah satu penyebabnya karena user tersebut mendapat pendidikan yang baik dari orang tuanya.


Pendidikan moral dan keagamaan seyogyanya ditanamkan orang tua sejak dini, karena keimanan yang kuat dapat membentengi anak dari pengaruh buruk. Latihlah anak-anak kita untuk jujur kepada orang tuanya sejak dini. Doronglah mereka untuk ungkapkan hal-hal tidak mengenakkan yang dijumpai di medsos, seperti bullying.









Arli Aditya Parikesit Tentang Penulis: Dr.rer.nat Arli Aditya Parikesit adalah alumni program Phd Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; Peneliti di Departemen Kimia UI; Dosen di STAI Al-Hikmah Cilandak; Managing Editor Netsains.com; dan mantan Koordinator Media/Publikasi PCI NU Jerman. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_par di twitter, https://www.facebook.com/arli.parikesit di facebook, dan www.gplus.to/arli di google+.



( ash / ash )

Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!