Pengunjung Louvre Museum Paris menyemut di depan lukisan Monalisa, awal Juni lalu. (Foto: Ari Saputra)
Sebagian besar museum membolehkan pengunjung menggunakan kamera untuk mengabadikan suasana dan koleksinya. Dan sebagian besar pula, melarang menggunakan tripod dan lampu kilat (blitz) saat memotret. Sebab, lampu blitz diyakini memancarkan gelombang panas dan elektromagnetik yang dapat merusak koleksi museum.
Enggak kebayang kan nasib lukisan-lukisan klasik Leonardo Da Vinci kalau ribuan pengunjung Museum Louvre Paris per hari menyalakan lampu blitz saat memotret lukisan itu.
Mau nggak mau, yang sudah menyiapkan kamera dari hotel perlu menyiasati secara kreatif bagaimana mendapatkan gambar suasana dan koleksi museum secara maksimal. Apalagi, ternyata tantangan memotret di dalam dan luar museum tidak hanya soal pencahayaan melainkan juga soal white balance yang perlu dicermati supaya warna gambar lebih natural.
Apa saja tantangan itu?
Pertama, masalah utama memotret di dalam museum adalah low light, minim cahaya dan bagi lensa sudah dapat dibilang remang-remang.
Larangan menggunakan lampu kilat membuat lensa harus bekerja ekstra keras menangkap cahaya yang sedikit.
Kedua, ruangan museum indoor biasanya menggunakan lampu bohlam berwarna kekuning-kuningan. Termasuk lampu-lampu sorot yang digunakan untuk menerangi koleksi museum.
Perhatikan white balance supaya gambar yang dihasilkan lebih natural, tidak terlampau kekuningan atau merah matang seperti udang rebus.
Ketiga, tiap lampu di tiap koleksi museum atau di setiap rungan mempunyai intensitas cahaya yang berbeda-beda. Perbedaan disebabkan karena banyak faktor seperti umur bohlam lampu maupun besar-kecilnya ruangan yang tidak sama.
Bagi mata manusia, mungkin tidak terasa. Tetapi bagi mata lensa, perbedaan warna lampu sedikit saja sangat sensitif dan mempengaruhi white balance.
Keempat, terkadang cahaya lampu diganggu juga dengan cahaya matahari yang masuk melewati kisi-kisi jendela. Alhasil terdapat percampuran warna cahaya kekuningan dari lampu dan warna putih dari sinar matahari.
Apalagi kalau arah datangnya kedua sumber cahaya ini tidak akur melainkan bentrok, perlu kesabaran khusus menyiasatinya.
Kelima, suasana museum yang ramai pengunjung membuat kesulitan saat ingin membuat gambar bersih dari adegan-adegan pengunjung yang 'merusak frame'.
Misalkan hampir semua pengunjung terkagum-kagum dengan koleksi lukisan Rembrandt, namun ada 2 atau 3 orang yang justru tertawa atau lagi merem. Alhasil gambar menjadi tidak sedap dilihat.
Keenam, luas ruangan di dalam museum tidak sama. Ada yang besar membentuk hall, namun ada yang kecil seperti bilik kamar ukuran 5x6 meter.
Bahkan terdapat pula hanya lorong selebar 2 meter namun di dinding terdapat koleksi lukisan yang menarik, seperti saya jumpai di Chateau de Cheverny, Perancis.
Perbedaan besar kecil ruangan tersebut akan mempengaruhi penggunaan lensa. Apakah efektif menggunakan lensa lebar ataukah lensa normal.
Ketujuh, hampir bangunan museum di Eropa mempunyai desain eksterior yang unik. Sehingga siapapun yang ke museum tersebut akan memotret suasana dan detail luar museum juga.
Nah, memotret di dalam museum dan di luar museum tentu sangat berbeda secara teknis kamera. Khususnya mengenai intensitas cahaya (ISO) dan masalah warna (white balance). Perbedaan itu jangan sampai kelupaan supaya waktu tidak terbuang sia-sia hanya untuk menseting kamera.
Namun jangan minder saat membuat ittenery ke museum-museum. Selalu ada kiat yang biasa dilakukan untuk tetap memaksimalkan hasil gambar.
Pertama, persiapkan lensa dengan diafragma lebar setidaknya hingga f/2,8. Kalau tidak memiliki, bisa pinjam temen atau sewa berbayar. Kalau diafragma terbesar hanya pada f/3,5 maka siap-siap membesarkan bilangan ISO hingga diatas 2.500.
Kedua, persiapkan lensa lebar untuk mengantisipasi ruangan sempit sekaligus ruangan sangat luas. Lensa lebar akan mampu menjangkau ruangan sempit karena daya jangkaunya yang luas, sehingga saat memotret tidak perlu mundur-mundur dan kepentok dinding.
Sementara saat memotret dengan ruangan sangat luas, dapat terekam seluruh suasana hingga ke sudut-sudut ruang.
Ketiga, siapkan lensa normal seperti 50mm. Lensa normal ini sangat diperlukan untuk memotret detail dan koleksi museum.
Akan sangat beruntung bila mempunyai lensa dengan rentang lebar hingga normal sekaligus dan mempunyai diafragma besar. Misalkan lensa 24-70 dengan f/2,8 dan dipergunakan pada kamera full frame.
Kalaupun enggan berganti-ganti lensa atau tertinggal di hotel, mengcroping dari lensa lebar untuk memperoleh detail tidak masalah. Hanya saja, pastikan subjek yang akan dicroping mempunyai ketajaman yang relevan.
Keempat, setting camera pada ISO yang sesuai dengan kondisi ruangan. Biasanya ISO diset diatas 2.000 untuk kondisi ruangan seperti ballroom di hotel-hotel.
Jangan bosan dan lupa untuk menggonta-ganti ISO saat terjadi perbedaan intensitas cahaya antar ruangan. Bisa juga menggunakan ISO Auto, namun taste gambar yang dihasilkan akan berbeda dari yang manual.
Keempat, sebisa mungkin menggunakan WhiteBalance (WB) secara manual yakni Kelvin. Dalam derajat Kelvin, biasanya akan dimulai dengan angka paling kecil yakni 2.500 dan terbesar 12.000. Angka terkecil untuk menyiasati suhu warna yang dingin (biru), sementara paling besar untuk suhu warna terpanas (merah).
Di ruangan museum dengan AC yang di setel dingin dan cahaya lampu bohlam kekuningan, biasanya dapat diantisipasi dengan derajat Kelvin antara 3.000 hingga 4.500.
Sementara di luar museum dengan matahari terik, derajat Kelvin bisa ditingkatkan hingga 6.000 atau 7.000 atau lebih tergantung intensitas caha matahari.
Kalau dipusingkan dengan hitung-hitungan ini karena belum terbiasa, dapat dipergunakan WB auto.
Namun itu juga belum menjamin warna menjadi natural. Karena itu masih terdapat fasilitas WB yang lain seperti tungsten yang memungkinkan warna gambar semakin natural.
(Ari/sha)