Mencari Kebijakan dalam Internet Crowd

http://us.images.detik.com/content/2014/05/02/398/dimitriii460.jpgDimitri Mahayana (dok. pribadi)


Jakarta - Ke manapun kita melangkah, kapanpun bergerak, rasanya kini takkan bisa lepas dari internet --terutama di kota-kota besar di Indonesia maupun dunia. Ini bukan cerita soal kemewahan, ini bercerita soal kondisi ubiquitous (ada di mana-mana dalam satu waktu).

Sekalipun layanan berbayar masih dominan, namun kehadiran layanan gratis dengan akses WiFi kini bukan lagi mewabah. Lebih dari itu, seperti kita bisa simak di berbagai kafe/pusat keramaian, layanan WiFI gratis sudah jadi nilai jual pusat komersial.


Maka tak berlebihan jika penulis menyebut keseluruhan fenomena ini sebagai era broadband anyspace. Periode dimana layanan berbasis pita lebar sudah menyeruak dalam seluruh sendi masyarakat, bahkan sudah jadi kebutuhan vital seumpama oksigen bagi sebagian orang.


Broadband anyspace ini bisa mudah kita lihat. Misalnya tekad dari CEO Telkom Arief Yahya di tahun 2013 yang mencanangkan pemasangan sedikitnya 1 juta WiFI (setara 10 juta pengguna) se-Indonesia, termasuk di dalamnya titik WiFI program Indonesia Digital School/Indischool.


Jangankan di darat, akses dunia maya pun kini kian mudah ditemukan di udara dan lautan. Maskapai Garuda Indonesia sejak akhir tahun lalu sudah memberikan layanan WiFi ketika pesawat berada di di ketinggian di atas 10 ribu kaki (layanan tidak diperkenankan digunakan pada saat pesawat dalam posisi taxi, take off dan landing).


Secara legal, aktivasi layanan ini sudah berhasil melewati pengujian perangkat, pengukuran sinyal terhadap access point, dan BTS pico seluler di GSM 1800 oleh Direktorat Standarisasi Kementerian Komunikasi dan Informatika.


Ini baru di negeri kita, tetapi sebelumnya sudah banyak yang menyediakan seperti British Airways (Inggris), Royal Jordanian (Yordania), Oman Air (Oman), Lufthansa (Amerika Serikat), Cathay Pacific (Hongkong), TAM (Brasil), TAP (Portugal), Egyptair (Mesir), dst. Next


(ash/ash)