"Putusan ini tidak mencerminkan hasil persidangan. Dugaan saya karena selama masa persidangan ada beberapa hakim itu secara bergantian tidur," kata pengacara Indar, Luhut Pangaribuan, menanggapi vonis hakim di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (8/7/2013).
Gara-gara tidur, hakim -- kata Luhut -- tidak menangkap utuh keterangan saksi dan ahli. Karena itu hakim dalam pertimbangan hukum putusannya tidak mengutip utuh fakta persidangan.
"Tidur walaupun 5 menit misalnya, itu luar biasa akibatnya terhadap pemahaman terhadap fakta maupun hukumnya, dan itu yang terjadi dalam sidang. Dengan kata lain, putusan itu tidak merefleksikan apa yang dibicarakan dalam persidangan selama ini," imbuh dia.
Luhut menjelaskan, kliennya tidak dapat ditimpakan kesalahan karena ikut menandatangani kerjasama IM2-Indosat. "Pak Indar ini hanya menandatangani perjanjian kerjasama sebagai bagian dari program perusahaan. Jadi itu perbuatan korporasi bukan perbuatan Pak Indar," terangnya.
Menurut Luhut, tidak ada kesalahan dalam perjanjian kerjasama tersebut. Selain itu, mengacu pada surat Menkominfo, perjanjian kerjasama IM2-Indosat tidak terkait dengan penggunaan frekuensi. "Tidak ada kewajiban membayar up front fee dan BHP, terang benderang dikatakan dalam surat menteri," paparnya.
"Kok tiba-tiba terbukti Pak Indar yang melakukan perbuatan? Itu betul-betul fatal. Dugaan saya itu karena hakimnya tidur, ini harus digarisbawahi," tegas Luhut.
Majelis hakim menyatakan Indar terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait penggunaan frekuensi. Indar dihukum 4 tahun penjara, denda Rp 200 juta, subsidair 3 bulan kurungan.
Di dalam putusannya, majelis hakim juga menghukum pembayaran uang pengganti Rp 1,358 triliun. Uang pengganti dibebankan kepada IM2 dengan waktu pembayaran 1 tahun setelah putusan berkekuatan hukum tetap.
(fdn/ash)