BRTI: Registrasi Ponsel Harusnya Ditanggung Pemerintah

Jakarta - Untuk melakukan registrasi dan verifikasi nomor International Mobile Equipment Identity (IMEI) pada setiap ponsel pengguna, biaya yang diperlukan jelas tidak sedikit. Apalagi diperkirakan ada 500 juta ponsel yang beredar di Indonesia dimana 15% di antaranya diduga ilegal.

Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) secara prinsip mendukung inisiatif dari Kementerian Perdagangan untuk menekan impor ponsel ilegal. Namun di sisi lain, implementasinya harus tetap realistis karena berbiaya sangat tinggi dan rentan merugikan konsumen.


"Kami secara prinsip mendukung usulan dari Kementrian Perdagangan untuk memberantas peredaran ponsel ilegal dengan memverifikasi IMEI pengguna. Tetapi, untuk investasi harus ditanggung negara, soalnya ini lumayan besar dan operator sudah banyak terbebani selama ini," terang Anggota BRTI Nonot Harsono di Jakarta.


Idealnya, menurut dia, verifikasi dilakukan sebelum dilakukan pemanggilan pertama (before dialing) dimana proses autentifikasi dilakukan jaringan operator ketika SIM Card dimasukkan. Selanjutnya operator tinggal memasukkan ke database nomor IMEI yang terdaftar.


Jika verifikasi dilakukan pada tahapan before dialing akan mudah dan cepat karena pengguna tak harus manual melaporkan dengan ketik dulu *#06#. "Masalahnya untuk bisa menjalankan prosedur itu ada investasi tambahan karena arsitektur jaringan dan software harus di-upgrade di MSC (Mobile Switching Center)," jelasnya.


Kementerian Perdagangan pun disarankan memanggil para vendor jaringan dan membuat kesepakatan untuk membantu operator menerapkan sistem registrasi IMEI ini. Menurut Nonot, jika hal ini diminta langsung oleh pemerintah, biayanya juga bisa ditekan.


"Vendor jaringan diberikan insentif agar bisa memberikan harga murah atau investasi langsung di Indonesia. Tujuan akhir dari kebijakan ini kan manufaktur lokal bangkit. Bolanya ada di tempat Pak Gita, kalau kami kan posisinya hanya membantu secara teknis," sarannya.


Founder IndoTelko Forum Doni Darwin sepakat dengan usulan dari BRTI karena sewajarnya ekosistem yang diuntungkan dari adanya kebijakan itu turut berinvestasi.


"Meminta negara untuk langsung investasi rasanya sulit. Tetapi meminta pemerintah untuk memfasilitasi seperti memaksa vendor jaringan memberikan harga murah untuk upgrade sistem, prinsipal ponsel berinvestasi juga, serta distributor aktif melakukan sosialisasi rasanya itu masih realistis," katanya.


Ia mengingatkan, hal lain yang harus diperhatikan adalah masalah tata kelola dari kerahasiaan data. "Ini sangat penting karena ponsel itu sekarang sudah dalam ranah pribadi. Jika database ada di operator, harus dipastikan siapa saja yang berhak mengakses."


Sebelumnya, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan memperkirakan jumlah gadget ilegal di Indonesia sekitar 70 juta unit dari total 250 juta unit gadget yang beredar di pasaran dalam negeri. Potensi kerugian negara karena maraknya beredar barang ilegal itu sekitar Rp 35 triliun, belum termasuk PPN.


Gita pun mengusulkan, mengingat besarnya jumlah perangkat telekomunikasi yang teridentifikasi unligitimate, maka ada upaya pemblokiran IMEI bagi perangkat telekomunikasi yang illegal. Dasar usulan ini adalah Peraturan Menteri Perdagangan No. 82/M.DAG/PER/12/2012 tentang Ketentuan Impor Telepon Seluler, Komputer Genggam dan Komputer Tablet.


Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, Gatot S Dewa Broto memperkirakan butuh waktu dua tahun jika keinginan menerapkan blokir IMEI ilegal dilakukan.


Di tataran vendor ponsel sendiri tengah galau tentang definisi IMEI ilegal. Keresahan terjadi jika handset resmi yang dipakai selama di luar negeri lalu dibawa ke Indonesia, atau handset yang membayar pajak tetapi nomor IMEI-nya ternyata ilegal karena kloningan.


"Kalau nanti ada yang mengeluh seperti ini, Pak Gita sudah harus siap untuk menjelaskan bagaimana solusinya. Idealnya, jika handset mereka dimatikan gara-gara masalah seperti ini ya harusnya diganti dengan barang yang sama juga," tegas Nonot.


(rou/ash)