"Dengan berat hati IGF 2013 batal diadakan di Indonesia. Kita sudah melaporkan ke sekretariat IGF secara informal. Mereka menyayangkan, tapi juga tak bisa memaksakan karena aspek biaya," ujar Kepala Humas dan Pusat Informasi Kementerian Kominfo Gatot S. Dewa Broto kepada detikINET, Kamis (25/7/2013).
Dipaparkan Gatot, IGF 2013 membutuhkan biaya sekitar Rp 22 miliar. Dimana dari penyelenggara Id-IGF sudah terkumpul Rp 9 miliar, sedangkan Kementerian Kominfo memberi alokasi dana Rp 2,5 miliar. Jadi kurang dana sekitar Rp 10,5 miliar. Sempat pula tambahan dana diajukan lewat APBN-P atau dari anggaran BP3TI, tapi urung terlaksana.
"Anggaran itu sebenarnya sudah diperketat, bahkan beberapa negara mau self finance alias modal sendiri. Padahal mereka sebagai peserta harusnya kita fasilitasi. Tapi mau bagaimana lagi, kita tak ingin paksakan. Jadi dengan berat hati kita harus membatalkan, kami memohon maaf kepada stakeholder internet indonesia," lirih Gatot.
Meski telah mengaku tak sanggup untuk menjadi tuan rumah IGF 2013, hal itu masih dinyatakan Indonesia secara informal. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kominfo atau Kementerian Luar Negeri harus mengirim surat ketidaksanggupan menjadi tuan rumah secara resmi kepada Sekjen PBB.
Konferensi Global Internet Governance Forum sendiri awalnya direncanakan akan dihadiri sekitar 2.500 para pemangku kepentingan di bidang Internet dari penjuru dunia untuk mendiskusikan tentang tata kelola internet secara inklusif, transparan, akuntabel dan egaliter. Adapun 1.000 peserta di antaranya diharapkan berasal dari Indonesia.
Rencananya akan ada 154 workshop soal internet yang siap dihelat dengan topik A-Z. Mulai dari membahas soal kebebasan ekspresi, regulasi, keamanan internet, dan topik seputar internet lainnya.
Jadi ini adalah wadah bagi diplomasi internet indonesia. Bagaimana merumuskan tata kelola internet, karena setiap negara menjamin ketersambungan dan tiap negara punya kepentingan masing-masing.
Konferensi ini pun terkait dengan Deklarasi Millennium Development Goal (MDG) No. 555/2 tahun 2000 dan Kesepakatan World Summit on the Information Society (WSIS) No. 060/1/2005.
Salah satu prinsip penting sebagai benang merah adalah, pembangunan masyarakat informasi dalam rangka pengentasan kemiskinan dapat dibantu dengan teknologi informasi dan komunikasi yang berlandaskan pada kemitraan yang kokoh antara pemerintah, sektor swasta, organisasi masyarakat madani (civil society), dan organisasi internasional lainnya.
Sekjen PBB, melalui Sidang WSIS di Tunisia tahun 2005, telah membentuk pokja tata kelola internet sebagai kondisi pemungkin (enabler) untuk memastikan partisipasi multi stakeholder atau pemangku kepentingan majemuk dapat berjalan aktif, terbuka dan inklusif.
Dalam konteks kepentingan dalam negeri, beberapa hal yang dapat dipetik dari pelaksanaan Global IGF ke-8 di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Memperkuat posisi Indonesia sebagai poros penting Internet global
2. Menjadikan Indonesia sebagai sumber belajar bagi bangsa/negara lain
3. Membuka peluang komunitas Indonesia mulai berkiprah secara global
4. Membuka potensi kerjasama dan alih pengetahuan antar pelaku kunci
5. Mendorong dialog tata-kelola Internet yang inklusif, transparan, akuntabel, egaliter dan melibatkan pemangku kepentingan majemuk
6. Menstimulasi pertumbuhan dan pasar akses Internet dalam negeri
(ash/eno)