"Di Medan itu ada satu toko yang menjual 25 komputer bodong, tetapi di dalamnya sudah diinstal software bajakan. Setelah Medan baru Bandung di urutan dua, dan Jakarta," papar Sekretaris Jenderal MIAP, Justisiari P Kusumah, dalam keterangannya, Jumat (25/6/2013).
Dia mengungkapkan, sepanjang semester pertama tahun ini, MIAP bekerjasama dengan Bareskrim Mabes Polri serta Dirjen HKI Kemenkumham telah melakukan sidak di tiga kota besar tersebut, yakni Jakarta, Bandung, dan Medan.
"Ada 12 TKP (tempak kejadian perkara) yang disidak. Di tiga kota itu masing-masing kota kita petakan empat TKP. Jadi terbanyak itu di 2 TKP di Medan, kemudian 1 di Bandung dan 1 di Jakarta (Point Square)," sebut dia.
Namun dari temuan tersebut, baik MIAP maupun Mabes Polri belum bisa memperkirakan berapa jumlah kerugian akibat perdagangan komputer dengan software ilegal tersebut.
"Itu sulit dihitung. Kecuali klo sudah masuk pengadilan, mungkin bisa sedikit terkuak. Karena kita tidak tau sejak kapan mereka menjual komputer bodong dengan software ilegal itu," imbuh Justi.
Sementara Rus Hariyanto, Perwakilan dari Bareskrim Mabes Polri mengatakan, dari hasil sidak tersebut, sejumlah elaku sudah diproses secara hukum. "Ada yang sudah masuk pengadilan," ujarnya.
Justisiari lebih lanjut meminta dukungan dari semua lembaga terkait dalam proses sosialisasi anti pemalsuan. Terutama kesiapan Kementrian Perdagangan dalam menghadapai ramainya kempanye anti pemalsuan oleh sejumlah negara yang menjadi partner perdagangan Indonesia.
"Karena isu HKI ini memang sudah jadi isu global. Sejumlah negara bagian malah secara serius mengeluarkan undang-undang untuk mencounter semua barang ilegal yang coba masuk ke wilayah mereka. Lantas bagaimana persiapan Indonesia?" tanya dia.
Menjawab hal tersebut, Olvy Andrianita, Deputi Direktur Kerjasama Bilateral Amerika Kemendag, mengatakan, tujuan utama dalam konteks HKI adalah melindungi aset nasional agar bisa bersaing di pasar global.
"Jadi kalau ada UU dari negara-negara tujuan ekspor kita soal kewajiban kompetitivnes, kita akan adjustment, dan diupayakan supaya produk kita bisa diterima. Karena kadang aturan mereka juga dibuat untuk menjegal barang yang masuk dari luar. Karena kalau tidak sesuai dengan keinginan mereka, produk kita akan ditolak. Atau kalau pun masuk juga tidak bisa bersaing dengn produk asli negara bersangkutan," jelas dia.
Maka dari itu, Kementerian Perdagangan, lanjutnya, bersama dengan semua lembaga yang konsen dengan HKI, akan membantu mengedukasi produsen lokal agar memahami mengenai HKI itu sendiri juga pemberdayaan dan perlindungan konsumen.
"Kita menjembatani ini supaya produsen kita tahu apa yang diinginkan konsumen negara-negara tujuan ekspor kita. Kita juga akan perbaiki regulasi perdagangan yang dikaitkan dengan HKI," kata Olvy.
Widyaretna Buenastuti, Ketua Umum MIAP juga menegaskan edukasi dan sosialisasi ini penting untuk terus dilakukan, sekaligus menyegarkan kembali pemahaman pihak-pihak terkait atau stakeholder soal pentingnya perlindungan HKI.
Dalam hal ini perlu untuk dipahami bahwa kerugian karena adanya pelanggaran HKI tidak saja dilihat dari sisi kepentingan produsen atau pemegak hak cipta, tetapi juga konsumen sebagai pengguna akhir.
"Sejak 10 tahun MIAP berdiri, perkembangan memang ke arah yang lebih baik soal perlindungan HKI. Tetapi edukasi dan sosialisasi penting untuk terus dilakukan. Belum lama ini kita lakukan MoU dengan Kemendang soal bagaimana caranya kita bersama-sama meningkatkan pemahaman tentag HKI dan hak konsumen," kata Widyaretna.
Dia menambahkan, soal kerugian negara yang sempat dirilis MIAP hasil studi 2010 lalu terhadap pelanggaran HKI yang kala itu diperkirakan mencapai Rp 43,2 triliun, pihaknya akan merilis hasil terbaru guna mengukur sejauh mana dampak sosialisasi hingga penindakan yang dilakukan terhadap pelanggar HKI sejauh ini. "2014 nanti kita update lagi hasil survei terbaru," pungkas Widyaretna.
(ash/ash)