Vonis IM2 Bikin Izin Telekomunikasi Kacau Balau

Jakarta - Dampak dari vonis denda Rp 1,3 triliun yang dibebankan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kepada Indosat Mega Media (IM2) ternyata berdampak sistemik dan membuat proses pengurusan izin telekomunikasi jadi kacau balau.

Menurut Nonot Harsono, anggota komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), pihaknya beserta Kementerian Kominfo jadi ragu untuk memproses permohonan izin untuk layanan telekomunikasi.


"Demi menghormati putusan pengadilan ini, mohon pengertian seluruh UKM dan dunia usaha apabila regulator tidak berani memproses permohonan izin, penyesuaian izin, dan seterusnya, demikian pula izin frekuensi," tuturnya pada detikINET, Senin (15/7/2013).


Proses perizinan mungkin baru bisa diproses setelah ada rekomendasi dari pengadilan Tipikor. Jadi sebelum mengajukan permohonan izin jaringan dan/atau jasa, setiap pemohon kata dia mungkin harus ke pengadilan tipikor atau Mahkamah Agung. "Peran Regulator untuk sementara waktu dialihkan kepada Pengadilan tipikor," ucapnya.


Selain itu, mungkin dunia usaha seperti perbankan, musik, transaksi online, dan seluruh pelaku bisnis yang melakukan kerjasama dengan penyelenggara jaringan bergerak seluler perlu meminta fatwa terlebih dahulu kepada pengadilan tipikor atau MA sebelum melakukan kerjasama.


"Agar tidak ada tuntutan dari masyarakat atau LSM di kemudian hari," sungutnya.


Ubah Pola


Keluarnya vonis bersalah ini jelas telah mengubah pola perizinan di dunia telekomunikasi nasional. Baik regulator, pemerintah, maupun pelaku industri takut jika suatu saat mereka yang dikriminalisasi memanfaatkan celah regulasi.


"Menteri Kominfo menyatakan akan menghormati putusan pengadilan tipikor. Namun perlu dipahami implikasinya terhadap industri telekomunikasi, karena di dalam amar putusan itu mengubah pola perizinan penyelenggaraan jasa telekomunikasi dan PKS (perjanjian kerja sama) antara Jaringan dan jasa," kata Nonot.


Menurutnya, untuk sementara waktu permohonan dan proses perizinan seharusnya dibekukan hingga ada putusan yang berbeda atau dibekukan lanjut hingga selesai uji materi atau uji penafsiran oleh Mahkamah Agung (MA) dan kewenangan regulator dipulihkan.


Pasalnya, dalam amar putusan itu dikatakan bahwa penyelenggaraan Jasa hanya boleh dilakukan oleh penyelenggara yang memiliki izin jaringan. Artinya PKS antara penyelenggara Jaringan dan penyelenggara jasa dianggap melawan hukum.


Semua penyelenggara jasa/UKM yang memanfaatkan jaringan seluler wajib membayar BHP frekuensi lebih dari Rp 2 triliun per tahun tidak peduli berapa kapasitas jaringan yang dipakainya.


(rou/ash)