Ini Alasan Kamera DSLR Full Frame akan Terus Bertahan

Jakarta - Sebuah kamera biasanya dibilang kamera full frame jika memiliki sensor berukuran 36 x 24mm, yang merupakan ukuran film di era film. Di era digital, banyak produsen kamera yang mengembangkan sensor gambar yang berukuran lebih kecil tujuannya supaya bisa membuat kamera dalam berbagai bentuk dan harga.

Teknologi kamera bersensor lebih kecil dari full frame lantas semakin baik dan berkembang. Contohnya ada sensor APS-C (23 x 16mm) atau four thirds (17.3 x 13mm), yang banyak digunakan kamera DSLR maupun kamera mirrorless yang dijual dengan kisaran Rp 4-15 jutaan.


Secara umum, kualitas foto dengan sensor besar menghasilkan kualitas foto yang lebih baik. Tapi ukuran sensor yang besar juga membuat ukuran fisik kamera dan lensa yang cocok menjadi besar pula. Alhasil harga kameranya juga menjadi tinggi. Biasanya harga kamera full frame diatas 15 jutaan. Ada model kamera yang bahkan mencapai harga 50 jutaan.


Karena peningkatan kualitas gambar kamera bersensor lebih kecil dari kamera full frame, mulai banyak pengamat yang berpendapat bahwa kamera full frame akan lenyap ke depannya. Beberapa bahkan sudah memilih hijrah ke sistem lainnya. Tapi menurut saya, kamera full frame akan terus bertahan bahkan bisa jadi meningkat di masa depan.


Ada beberapa alasan mengapa kamera bersensor full frame akan bertahan:


Dimensi yang lebih besar menguntungkan karena penampang untuk menangkap cahaya lebih besar, sehingga saat motret di kondisi cahaya yang lebih gelap dengan nilai ISO tinggi lebih baik.


Saat memakai ISO tinggi seperti ISO 3200, detail dan ketajamanan foto masih terjaga, di beberapa model, kualitas foto masih sangat baik di ISO 6400. Di lain pihak, di kamera bersensor lebih kecil, biasanya ISO 1600 merupakan ambang batas antara baik dan buruk.


Rentang dinamis, yaitu kemampuan sensor kamera menangkap tingkat cahaya di kamera full frame juga lebih luas dari kamera bersensor kecil, sehingga memudahkan fotografer landscape untuk menangkap gradasi cahaya yang lengkap dari terang sekali sampai gelap.


Teknologi sensor full frame beberapa tahun belakangan ini juga makin meningkat. Katakanlah Nikon D800E atau Canon 5D mk 3 yang memiliki resolusi foto 36 MP dan 22.3 MP dengan kinerja hasil foto yang sangat bagus dan tajam meskipun memakai ISO tinggi.


Selain kualitas foto, kamera full frame memiliki koleksi lensa yang sudah lengkap dan berkualitas tinggi. Memang, lensa-lensa ini juga bisa dipakai di kamera bersensor APS-C, tapi jika dipasang di kamera bersensor APS-C, ada yang namanya faktor pengali (krop faktor), ruang pandang kamera tidak selebar jika dipasang di kamera full frame.


Hal ini mungkin terlihat sepele, tapi fotografer pencinta pemandangan yang lebar terpaksa akan mengunakan lensa yang kelasnya lebih rendah jika menggunakan kamera bersensor APS-C.


Selain itu, ruang tajam hasil foto kamera DSLR full frame lebih tipis saat memakai lensa dengan bukaan yang sama. Artinya akan lebih mudah membuat latar belakang yang tidak fokus blur saat mengunakan kamera full frame.


Contohnya, jika ingin membuat latar belakang blur seperti yang dihasilkan kamera full frame dan lensa f/2.8, maka kamera bersensor APS-C harus memakai lensa bukaan (f/2.8 dibagi 1.5 (faktor pengali) = f/1.8. Dan, kamera bersensor four thirds harus dibagi 2 menjadi f/1.4 dan seterusnya.



(Untuk menghasilkan gambar dengan bagian yang tidak fokus semulus ini, dibutuhkan lensa berbukaan besar. Jika mengunakan kamera bersensor APS-C, akan dibutuhkan lensa berbukaan f/0.95 (didapatkan dari f/1.4 dibagi faktor pengali 1.5X). ISO 100, 85mm f/1.4, 1/4000, Nikon D600.)


Dengan alasan-alasan utama itulah, kamera bersensor full frame tetap akan terus bertahan dan dikembangkan, apalagi peminat di kalangan fotografer profesional dan amatir cukup tinggi, dan yang paling penting, produsen kamera akan diuntungkan dengan menjual lensa-lensa full frame yang berkualitas tinggi.


(sha/ash)