Seperti layaknya media lain, dimana ada pro dan kontra terhadap suatu wacana, maka di Twitter juga sama saja. Dalam menghadapi pro dan kontra, maka solusinya adalah melakukan perdebatan, yang terkadang menjadi debat kusir. Di Twitter, perdebatan tersebut terjadi dalam bentuk twitwar.
Twitwar, Buah dari Kultwit?
Sama seperti kultwit, yang merupakan format twit mengkuliahi, dengan sang pemilik akun seakan menganggap dirinya dosen, sementara followernya dianggap seperti mahasiswa, twitwar juga tidak jauh beda.
Sama seperti proses perkuliahan, dimana antara mahasiswa dan dosen tak jarang terlibat perdebatan, maka di Twitter, hal itu juga terjadi.
Hanya saja, sangat berbeda dengan perdebatan di bangku kuliah, dimana masih ada hirarki antara dosen dan mahasiswa, twitwar tidak mengenal hirarki. Siapapun, baik selebriti, politisi, atau social climber yang haus popularitas, bisa saja terlibat twitwar.
Ada kecenderungan, sama seperti kultwit, bahwa pelaku twitwar adalah orang Indonesia. Memang, ada juga akun barat yang terlibat, namun jika kita sedikit riset di mesin pencarian, maka akan sangat jelas bahwa lema twitwar asal Indonesia akan mendominasi.
Tidak jauh berbeda dengan fenomena kultwit, apakah twitwar membuktikan bahwa falsafah 'mangan ora mangan kumpul' tetap relevan dalam mengkaji pergerakan sosial user Indonesia? Hal ini yang harus dikaji lebih lanjut.
Seperti yang telah banyak dibahas pada banyak kajian, maka twitwar sesungguhnya dilakukan untuk menambah follower. Bagi seorang selebriti, hal ini penting untuk menambah visibility mereka dalam rating TV atau konstituen politik.
Namun, apakah visibility tersebut bisa diterjemahkan kepada follower real di dunia nyata. Itu belum tentu juga. Jual beli follower, yang marak terjadi di dunia maya, justru sering digunakan untuk menambah impact twitwar dengan penambahan follower.
Sangat jelas, bahwa follower palsu tersebut sama sekali tidak dapat diterjemahkan menjadi follower asli.
Twitwar Isu Politik
Salah satu contoh twitwar politik, antara pendukung dan relawan Jokowi-Ahok, versus Foke-Nara, presiden SBY, FPI, dan isu politik lain seperti capres.
Twitwar pilkada DKI 2012 benar-benar patut dicatat, karena merupakan bukti tak terbantahkan bahwa kekompakan tim sukses dalam menghadapi agitasi twitwar, sangat menentukan kemenangan Jokowi-Ahok.
Sementara itu, admin akun twitter presiden SBY terbukti sangat sabar dalam menghadapi bully warga twitterland, yang mengajak twitwar.
Sementara itu, akhir-akhir ini, bentrokan antara FPI dengan warga juga mencetuskan pro-kontra pada twitter, yang menyeret twitwar antara kedua belah pihak.
Sesungguhnya, twitwar politik jika diikuti dengan cerdas, maka akan dapat mencerahkan dan menambah wawasan. Jika diikuti dengan cermat, maka hal ini dapat menjadi masukan yang berguna, jika memutuskan untuk mencoblos (atau tidak mencoblos alias golput) di TPS.
Namun, di sisi lain, ada juga twitwar yang melibatkan selebriti, isinya mempertahankan eksistensi, bahwa dirinya lebih hebat daripada yang lain. Twitwar yang seperti ini tidak perlu dianggap terlalu serius, namun dilihat sebagai hiburan saja.
Bersitegang karena perbedaan pendapat memang dapat terjadi di dunia maya, dalam bentuk twitwar. Hanya saja, kita perlu memperhatikan, bahwa jangan sampai twitwar 'tergelincir' menjadi character assasination.
Republik Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang dapat menjerat pelaku pencemaran nama baik atau menghasut kebencian bermotif SARA di media sosial. Di sini, user perlu cermat, suapya dapat ekspresif mengungkapkan pendapat, tanpa harus terkena jeratan hukum.
Hal yang menarik, twitwar bisa saja berupa pencitraan, berpura-pura konflik, padahal hanya settingan saja. Tidak pernah ada yang tahu, apakah akun yang terlibat twitwar itu benar-benar musuhan di dunia nyata, saling tidak kenal, atau justru kebalikannnya, merupakan sahabat akrab yang sering kopdar.
Tahun Politik Menuju 2014
Menjelang pemilu 2014, bisa jadi twitwar antara berbagai aliran politik yang beragam akan meningkat. Semua dalam rangka, tidak saja mendulang follower, namun juga konstituen riil yang mencoblos partai dan capres/cawapres yang diinginkan sang propagandis.
Di Amerika Serikat, sudah terbukti bahwa Barrack Obama, yang sangat aktif berkampanya di media sosial, dapat memenangkan kursi kepresidenan, bahkan mempertahankannya untuk masa jabatan kedua.
Hal tersebut, yang akan menjadi motivasi utama bagi para tim sukses untuk memperjuangkan calon legislatif atau capres/cawapresnya di dunia maya, terutama melalui Twitter.
Kasus kemenangan Jokowi-Ahok pada pilkada DKI sudah membuktikan bahwa akun yang paling aktif dalam menangkis propaganda twitwar di Twitter, berbanding lurus dengan jumlah konstituen yang mencoblos di TPS.
Hanya saja, kita harus berhati-hati, karena keberhasilan Jokowi-Ahok tidak dapat dijadikan parameter umum yang berlaku secara nasional. Hal tersebut karena Jokowi-Ahok adalah fenomena khas Jakarta.
Apakah akun politik yang aktif melakukan kultwit dan twitwar akan berbuah konstituen riil, bahkan dapat membantu kandidatnya untuk menang pemilu 2014? Hal tersebut masih harus kita lihat lagi bagaimana ke depannya.
Tentang Penulis: Dr.rer.nat Arli Aditya Parikesit adalah alumni program Phd Bioinformatika dari Universitas Leipzig, Jerman; Peneliti di Departemen Kimia UI; Managing Editor Netsains.com; dan mantan Koordinator Media/Publikasi PCI NU Jerman. Ia bisa dihubungi melalui akun @arli_par di twitter, https://www.facebook.com/arli.parikesit di facebook, dan www.gplus.to/arli di google+. |
(ash/ash)