Seperti yang dikatakan oleh Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos Kominfo Muhammad Budi Setiawan sebelumnya, ada kemungkinan Bakrie akan membeli saham Smartfren. Namun, hal ini masih digodok oleh kedua stakeholder untuk mencari skema bisnis yang tepat.
"Sebenarnya ini tidak ada financial implikasi. Kita (Bakrie dan Smartfren) sudah sepakat dan sudah menyambutnya, namun belum tahu skemanya seperti apa apakah merger, sharing network atau tukar menukar saham. Mungkin akhir tahun baru bisa ada hasilnya," urai Deputi CEO PT Smartfren, Djoko Tata Ibrahim, di Jakarta, Kamis (25/9/2014).
Lebih jelas lagi dia menambahkan bahwa masalah yang dihadapi oleh masing-masing perusahaan -- termasuk hal utang harus diselesaikan secara masing-masing. Sehingga menutup kemungkinan adanya joint venture dengan membuat brand baru.
Jadi misal pun kedua operator ini bergulir bersama, maka pelanggan Esia yang akan bermigrasi ke Smartfren harus ditanggung biaya dan kompensasinya oleh Bakrie Telecom.
"Ini bukan penggabungan perusahaan. Karena urusan keuangan jadi urusan masing-masing. Mungkin ini seperti sewa kapasitas saja," tambah Djoko.
Ia tak menampik bahwa kolaborasi ini merupakan desakan pemerintah yang sudah didengungkan sejak beberapa tahun terakhir. Selain karena kebutuhan frekuensi, juga melihat fakta bahwa operator di Indonesia sudah terlalu banyak dan perlu disusutkan.
"Memang ini sebenarnya adalah desakan dari pemerintah dan keinginan bersama juga bagaimana membuat bandwith yang efisien, sehingga muncullah ide seperti ini," tandasnya.
Sekadar diketahui, saat ini Bakrie dan Smartfren mempunyai total 10 MHz di pita frekuensi 800 MHz. Khusus untuk Smartfren mereka juga masih mempunyai spektrum 30 Mhz di 2,3 GHz sebagai kompensasi kepindahannya dari 1.900 MHz.
(tyo/ash)