Adalah Tina Huang yang mengajukan gugatan class action tersebut. Dalam tuntutannya, Huang memasukkan sejumlah komplain, salah satunya adalah 'Twitter tidak menyediakan kesempatan kenaikan jabatan yang sama bagi karyawan wanita'.
Ia juga menyebut bahwa pihak manajemen Twitter gagal untuk menghilangkan praktik-praktik diskriminasi gender yang menurutnya sudah terjadi sejak lama. Dalam laporannya tahun 2014 lalu, Twitter menyebut bahwa secara global, 70% karyawannya adalah pria. Sementara khusus untuk karyawan di bidang teknik, sekitar 90% adalah pria.
Namun menurut Huang, pada kenyataannya, komposisi pria dan wanita di dalam kantor utama Twitter lebih buruk dari itu. Semasa ia bekerja di Twitter, semua kepala divisi dan staf engineer senior -- sekitar 22 posisi -- adalah pria.
"Sementara di posisi Huang, yaitu software engineer, hanya ada 7 wanita dari 164 posisi, hanya sekitar 4%," tulis Huang dalam gugatannya, seperti dikutip detikINET dari Business Insider, Selasa (24/3/2015).
Huang bekerja di Twitter dari tahun 2009 hingga 2014, dan pernah menempati sejumlah posisi di bagian software engineering. Ia sempat mengajukan komplain secara langsung ke CEO Twitter Dick Costolo, perihal kenaikan jabatan yang tak kunjung ia dapatkan.
Namun menurutnya, ia diskors tak lama setelah ia mengajukan komplain tersebut. Dan Huang pun akhirnya mengundurkan diri dari Twitter.
"Huang mengundurkan diri dari Twitter secara sukarela, dan pemimpin kami telah mencoba membujuknya untuk tetap tinggal. Ia tidak dipecat. Twitter sangat berkomitmen soal keberagaman (gender-red) di tempat kerja, dan kami percaya bahwa nantinya fakta akan membuktikan bahwa Huang telah diperlakukan secara adil," ujar juru bicara Twitter dalam keterangan resminya.
(asj/ash)