'Frekuensi Seharusnya Dikembalikan ke Pemerintah'

Jakarta - Keinginan XL Axiata untuk mengakuisisi Axis Telekom Indonesia harus dilihat secara cermat, khususnya menyangkut masalah izin frekuensi yang dianggap sebagai aset perusahaan.

Menurut pengamat telekomunikasi asal Universitas Indonesia, Gunawan Wibisono, pengalihan aset dengan izin menteri masih menimbulkan ambigu bila ditilik dari PP No. 53 tahun 2000.


"Di peraturan tersebut, di satu sisi melarang tapi di satu sisi memperbolehkan. Regulator seharusnya mencegah terjadinya transaksi spektrum frekuensi radio dan izin penyelenggaraan," tutur Gunawan, di Jakarta, Rabu (4/9/2013).


Ditambahkan olehnya, sesuai PP No. 53 Pasal 25 ayat 1 izin frekuensi tak bisa dipindahtangankan. Namun dalam PP No. 53 Pasal 25 ayat 2 disebutkan pemindahtanganan frekuensi dibolehkan atas izin menteri, dalam hal ini Menkominfo.


Gunawan menyarankan harus ada batas transaksi sumber daya terbatas atau sumber daya tersebut harus dikembalikan ke pemerintah karena frekuensi bukanlah aset perusahaan sehingga tak bisa ikut serta dalam proses merger atau akuisisi.


Presiden Direktur XL Axiata Hasnul Suhaimi mengakui memang frekuensi tidak boleh diperjualbelikan tapi harus dikembalikan ke pemerintah.


"Dan pemerintah lah yang akan menentukan apa yang akan dilakukan dengan frekuensi tersebut sesuai dengan kebutuhan pelayanan kepada pelanggan dan aturan yang berlaku," tambahnya.


Sementara itu, Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kominfo M. Budi Setiawan akan terus mengkaji rencana merger dan akuisisi XL dan Axis agar tetap pada koridor hukum yang berlaku, terutama pada persoalan sumber daya alam yang terbatas.


"Kominfo akan mengambil blok frekuensi lainnya milik XL Axiata dan bukan hanya satu blok di pita 2,1 GHz sebagai salah satu syarat merger dengan PT Axis Telekom," tandasnya.


(tyo/tyo)



dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone.