Mobile Payment System untuk Rakyat Indonesia

http://us.images.detik.com/content/2014/04/16/398/dimitriii460.jpgDimitri Mahayana (dok. pribadi)


Jakarta - Pada artikel sebelumnya, wacana perluasan e-channel untuk bidang pembayaran sehari-hari, salah satunya bisa diatasi branchless banking.

Namun seperti apakah implementasi idealnya di lapangan? Mengapa Bank Indonesia dan perbankan nasional/swasta yang telah menerapkan layanan perbankan tanpa kantor cabang ini di lapangan belum terasa menciptakan dampak signifikan?


Sebelum menjelaskan strategi lengkapnya, ada baiknya melihat dulu sejarah branchless banking di dunia. Dengan dipelopori Muhammad Yunus (peraih Nobel 2006, pendiri Grameen Bank, Bangladesh), konsep ini pertama kali muncul di Bangladesh smjnhejak tahun 1983.


Sekali pun berbekal sepeda sebagai kendaraan operasional dan pesan singkat seluler (SMS) sebagai lini utama layanan, Grameen Bank mensasar ibu rumah tangga untuk layanan mikro perbankan. Selepas itu, sejumlah bank/operator seluler di berbagai negara mengikutinya.


Meski banyak yang menjejaki, namun pergerakannya waktu itu masih tergolong sporadis. Sejarah mencatat yang pergerakannya terstruktur, visioner, dan diterima publik mulai terjadi selepas tahun 2000 di sejumlah negara-negara berkembang.


Sementara kita, di Indonesia yang masalah dan kondisi geografisnya hampir sama dengan beberapa negara di atas, relatif terlambat memulainya dari mereka. Yakni baru tahun 2006 ketika Bank Indonesia (BI) mengeluarkan wacana cash less society.


Itu juga perlu waktu 3 tahun kemudian untuk uji coba riil ketika Permata Bank memulai layanan ponsel pay, diikuti Bank Sinar Harapan Bali dan Axis tahun 2011. Tapi implementasinya baru terasa serius tahun lalu saat ujicoba UPLK melibatkan 5 bank dan 2 operator (lihat tabel 1). Next


(ash/ash)