Berkaca dari Carut Marut Kasus IM2




Helni MJ (dok. pribadi)


Jakarta - Kejaksaan Agung menetapkan PT. Indosat tbk dan anak perusahannya, PT. Indosat Mega Media (IM2), sebagai tersangka kasus korupsi penyalahgunaan pita frekuensi 2,1 GHz generasi ketiga (3G) yang diduga merugikan negara sampai triliunan rupiah.

Kedua perusahaaan dikenai pasal 2 dan 3 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Sebab, menurut penelaahan BPKP, IM2 merugikan negara sebesar Rp 1,3 triliun.


Berbagai upaya telah dilakukan Indosat, termasuk juga upaya Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring mengirim surat ke Kejaksaan Agung bernomor T-684/M.KOMINFO/KU.O4.01/11/2012.


Isi surat menyebutkan tidak ada pelanggaran yang dilakukan Indosat dalam pengalihan hak ijin kepada IM2. Namun upaya tersebut tak membuat Kejaksaan Agung berhenti, seperti diwartakan detikinet.com, pengadilan perdana kasus ini telah berlangsung (http://inet.detik.com/read/2013/01/14/133941/2141425/328/mantan-dirut-im2-tak-mengerti-dakwaan-penuntut?id771108bcj)


Jika ditelaah, di mata penulis, kasus tersebut merupakan cermin carut marutnya implementasi regulasi telekomunikasi di Indonesia yaitu adanya ketidaksesuaian isi peraturan perundang-undang telekomunikasi.


Dari mulai Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi), Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi (PP Telekomunikasi), serta Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 21 tahun 2001 tentang Jasa Telekomunikasi (KM Jasa Telekomunikasi).


Padahal dalam pembentukan perundangan-undangan, ada asas yang menjadi pedoman yaitu asas kesesuaian antar hirarki.


Dalam Pasal 11 UU Telekomunikasi disebutkan penyelenggaraan telekomunikasi dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri. Izin diberikan harus memperhatikan prinsip tata cara yang sederhana, transparan, adil, tidak diskriminatif, dan diselesaikan dalam waktu singkat.


Ketentuan tata cara perizinan diatur dengan peraturan pemerintah. Di dalam ketentuan pidana pasal 47 disebutkan pelanggaran Pasal 11 UU Telekomunikasi akan dikenakan sanksi pidana paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 600.000.000 (enam ratus juta rupiah).


Penafsiran pasal ini dapat diartikan setiap pelanggaran dalam proses perijinan penyelenggaraan telekomunikasi merupakan tindak pidana korupsi, yaitu tindak pidana yang dilakukan seseorang atau badan usaha yang merugikan keuangan negara.


Sementara PP Nomor 52 tahun 2000 tentang Telekomunikasi yang merupakan turunan UU Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, mengatur proses perizinan penyelenggaraan telekomunikasi dalam Pasal 55 yakni penyelenggaraan telekomunikasi diberikan izin prinsip dan izin penyelenggaraan. Dan untuk telekomunikasi khusus bagi perseorangan, badan usaha dan pemerintah tidak memerlukan izin prinsip dan izin penyelenggaraan.


Dalam Pasal 56 disebutkan izin prinsip tidak dapat dipindahtangankan dan Pasal 57 diatur bahwa perizinan diajukan secara tertulis kepada Menteri.


Pasal ini juga mengatur administratif berupa pencabutan izin dengan prosedur akan dilakukan setelah diberikan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut turut, yang mana masing-masing peringatan tertulis berlangsung selama 7 (tujuh) hari kerja


Jadi kesimpulan pertama, melihat isi pasal-pasal yang ada di UU dan PP tadi, terlihat ketidaksesuaian sanksi yang diberikan kepada operator yang menyelenggarakan telekomunikasi. Di dalam UU pelanggaran ijin dikenakan sanksi pidana, sementara di dalam PP pelanggaran perijinan dikenakan sanksi administratif!


Ketidaksesuaian tersebut memberi dampak pengaturan perijinan dalam penyelenggaraan telekomunikasi menjadi sesuatu yang bias dan tidak jelas. Yang lebih parah, ketidakjelasan ini memberi dampak kebingungan para pihak tentang penafsiran pelanggaran yang dilakukan oleh Indosat dan IM2.


Padahal, di dalam hirarki sistem perundang-undangan di Indonesia berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan disebutkan kedudukan Undang-undang lebih tinggi dari Peraturan Pemerintah.


Sehingga ketika terjadi suatu kasus, maka pasal undang-undang lah yang dijadikan patokan membuat dasar tuntutan pelanggaran. Karena itu, menjadi sesuatu yang masuk akal ketika jaksa penuntut umum menuntut IM2 dengan dasar tuntutan pidana korupsi sebagai tersangka kasus korupsi penyalahgunaan pita frekuensi 2,1 Ghz generasi ketiga (3G) yang diduga merugikan negara Rp 3,8 triliun.


Kedua perusahaaan tersebut dikenai pasal 2 dan 3 undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Karena menurut penelaahan BPKP, IM2 telah merugikan negara sebesar Rp 1,3 triliun.


Perijinan Penyelenggaraan Telekomunikasi


Posisi dari industri telekomunikasi di dalam perundang-undangan sebagai industri strategis yaitu industri yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga negara memiliki hak menguasai terhadap telekomunikasi. Hak menguasai tersebut dialihkan melalui mekanisme perijinan kepada penyelenggara telekomunikasi (operator).


Pada prinsipnya, operator hanya diberikan hak menggunakan, bukan hak memiliki penyelenggaraan telekomunikasi, sehingga siapapun operator yang memiliki ijin penyelenggaraan tidak boleh mengalihkan ijin penyelenggaraan. Kecuali sudah ada proses izin kepada pemilik telekomunikasi yaitu negara.


Terkait kasus IM2, kesimpulan kedua, memang ada persepsi berbeda antara Menteri Kominfo sebagai regulator telekomunikasi dan jaksa penuntut umum sebagai alat hukum.


Seharusnya ada mediasi kedua belah pihak yang mempunyai kewenangan menafsirkan kasus ini. Apalagi dalam azas hukum ada lex spesialis derogate lex generalis, atau sesuatu yang umum dapat diabaikan sesuatu yang khusus.


Sesuai ketentuan internasional, regulator memiliki kewenangan mengatur kasus-kasus yang terjadi di dalam industri telekomunikasi. Pada akhirnya, apapun keputusan final kasus ini harus dibuat sebijaksana mungkin.


Jika keputusan Jaksa Agung salah, maka akan menjadi preseden buruk bagi ISP (internet service provider) yang lain. Dan terutama menjadi preseden yang buruk bagi wajah perundang-undangan telekomunikasi di Indonesia. Semoga hal ini tidak terjadi.


*) Penulis, Helni MJ, S.H, M.H merupakan Dosen Law & Regulation Institut Manajemen Telkom dan Mahasiswa Program Doktoral Hukum Universitas Padjajaran.


( ash / ash )


Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!