Industri Video Game di Bawah Awan Badai

Jakarta - Saat direkrut sebagai chief executive di Atari pada 2008, Jim Wilson bermaksud memberikan perubahan pada masa depan perusahaan game yang amat populer pada 1980-an tersebut. Pada 2010, Wilson menjadikan Atari sebagai penerbit game digital untuk iOS dan Android.

"Saya ingin bekerjasama dengan seluruh jajaran managemen dan tim eksekutif global kami untuk mengembangkan strategi penerbitan online dan tradisional sambil meningkatkan nilai brand Atari," kata Wilson tentang pengangkatannya, pada 2008.


Tapi masa depan tak secerah yang diharapkan. Pada awal tahun ini, Atari menyatakan diri bangkrut.


Sejak mengganti fokus bisnisnya dari game tradisional ke game perangkat mobile, Atari sebetulnya pernah mencatatkan pencapaian yang bagus. Itu saat Atari menerbitkan game mobile Greatest Hits, Outlaw, Breakout, dan Asteroid Gunner.


Tapi badai selalu punya cara untuk menghantam perusahaan itu. Hantaman terhadap Atari ini bukanlah yang pertama. Perusahaan ini pernah amat terpukul ketika krisis besar melanda industri video game di era 1983-1985.


Terlalu banyak konsol yang beredar saat itu membuat industri ini ambruk. Tak hanya itu. Industri video game terhantam popularitas game di komputer. Beberapa game yang diharapkan populer malah jeblok di pasar. Di antaranya adalah game Extra Terresterial (ET) dan Pac-Man di konsol Atari 2600.


Gatot alias gagal totalnya ET membuat bisnis Atari pun meredup. Atari yang terbilang sebagai pemain terbesar saat itu sebelumnya harus merogoh kocek US$ 25 juta untuk lisensi ET. Setelah gagal total, Atari harus menanggung beban utang sebesar US$ 536 juta.


Redupnya Atari juga berarti redupnya industri video game. Pendapatan bersih industri ini yang sebesar US$ 3,2 miliar pada 1983 merosot tajam menjadi hanya US$ 100 juta pada 1985.


Kebangkitan video game baru terjadi di era 1990-an, ketika Nintendo Entertainment System (NES) muncul. Kehadirannya membangkitkan optimisme pemain di industri, termasuk penggila game, karena pengembang game pun kembali bergairah.


Tapi krisis keuangan global yang dimulai pada 2007 ikut mempengaruhi bisnis video game. Riset dari NPD menyatakan bahwa penjualan video game (konsol plus game) pada bulan Mei, turun 25 persen, dibandingkan Mei tahun lalu.


Pada Mei 2013 penjualan video game mencapai US$ 386,3 juta. Sedangkan setahun yang lalu penjualannya mencapai US$ 517.


Tidak hanya konsol dan game, penjualan software pun turun 31 persen menjadi US$ 175,1 juta dari US$ 254,3 juta.


Selain daya beli yang belum pulih, NPD juga menggarisbawahi bahwa penjualan yang turun signifikan mencerminkan pasar sudah mulai jenuh. NPD memperkirakan tren ini akan terjadi sampai beberapa bulan ke depan.


"Free to play games yang bisa diakses siapa saja juga akan menggerogoti pasar ritel. Tekanan ini masih akan menjadi isu dan bisa menurunkan profit," sebut NPD dalam risetnya.


Namun, NPD menyatakan masih ada harapan untuk industri video game. Rencana rilis sejumlah konsol baru seperti Xbox One dan Playstation 4 bisa mendongrak minat pasar dan mengembalikan profit.


"Apa yang terjadi saat ini adalah perubahan generasi. Sudah tujuh tahun generasi ini menikmati Playstation 3 dan Xbox sehingga memang sudah saatnya ada sistem baru," kata Shuhei Yoshida, Presiden Worldwide Studios, bagian dari Sony Computer Entertainment, seperti dilansir Forbes.


(DES/eno)


Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!