Perlunya Mengatur Internet yang Melindungi Kebebasan Sipil

Jakarta - Dalam pelaksanaannya, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) ditengarai telah menjadi ancaman baru bagi perlindungan kebebasan sipil di Indonesia, khususnya kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Menurut Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), situasi ini muncul terutama diakibatkan oleh rumusan norma pidana penghinaan dan pencemaran nama baik di dalam UU ITE, sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (3).


Tidak hanya Prita Mulya Sari yang pada tahun 2010 dijerat dengan UU ITE, sederet pengguna Facebook karena status yang dipostingnya, atau pengguna Twitter karena celotehannya, terpaksa harus merasakan dinginnya dinding penjara.


Dalam catatan Elsam, sedikitnya terdapat 32 kasus yang berkaitan dengan penggunaan pasal penghinaan/pencemaran nama baik, serta 5 kasus yang menggunakan pasal penyebaran kebencian dalam UU ITE.


MK, yang diharapkan menjadi pelindung hak-hak konstitusional warga negara dalam mengungkapkan ekspresinya, justru menguatkan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. MK beralasan ketentuan penghinaan di dalam KUHP tidak mampu menjangkau penghinaan di dunia maya.


"Padahal, keberadaan pasal ini telah menciptakan chilling effect (efek ketakutan) bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia," papar Elsam dalam keterangannya yang dikutip detikINET, Rabu (22/1/2014).


"Masalah lain yang dihadapi Indonesia adalah tindakan blocking dan filtering yang dilakukan secara semena-mena terhadap konten internet tertentu," lanjutnya. Next


(ash/fyk)

Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!