7 Tantangan Memotret Karnaval

Jakarta - Karnaval, festival atau parade makin populer bagi masyarakat Jakarta. Hampir tiap pekan, hajatan tersebut meramaikan jalanan ibukota.

Terlebih sejak gubernur Jokowi memimpikan Jakarta sebagai kota festival, arak-arakan budaya yang sangat fotogenik tersebut makin meriah dari pekan ke pekan.


Tidak heran bila ada karnaval yang sudah diumumkan jauh-jauh hari, dipastikan kamera fotografer bakal memenuhi setiap sudut jalan. Apalagi kalau karnaval tersebut memang colorfull dan kolosal seperti perayaan Cap Go Meh atau 17-an.


Fotografer tidak perlu menunggu lama untuk memperoleh momen dan ekpresi peserta karnaval. Selain itu, parade yang diikuti oleh ribuan peserta dan warga yang menyemut, membuat semuanya terlihat enak untuk dijepret.


Namun benarkah semudah itu memperoleh foto-foto karnaval yang atraktif, seatraktif aslinya?


Pertama, kondisi fisik harus prima. Tantangan fisik tersebut dibutuhkan untuk mengikuti rute karnaval yang tidak pendek. Kalau hanya di satu spot saja, tentu gambar yang dihasilkan akan monoton, bukan? Akhirnya fotografer diperlukan mobilitas yang tinggi dan nafas yang panjang untuk berlarian ke sana ke mari mencari suasana yang menarik.


Belum lagi dengan beban kamera, lensa, tas, dan beberapa fotografer sampai membawa stiger (tangga kecil). Fotografer lalu berjubel di antara penonton dan puluhan pedagang. Dipastikan keringat bakal bercucuran bila hendak serius merekam pawai dengan apik.


Nah, kalau kondisi fisik memang lagi kurang fit, solusinya dengan mengajak teman untuk menjadi asisten. Biarkan beban tas, lensa dan stiger dipegang olehnya. Sementara Anda benar-benar serius mencari gerakan-gerakan unik peserta pawai yang terkadang muncul tiba-tiba.


Pastikan juga untuk minum air yang banyak selama karnaval untuk menghindari dehidrasi. Apalagi kalau pawai diiringi dengan atraksi budaya terlebih dahulu di tengah lapang yang panas menyengat, jangan sampai kehausan.


Kedua, memahami rute karnaval dengan baik. Dengan memahami jalan-jalan yang akan dilalui peserta festival, fotografer dapat menentukan dengan cepat titik pengambilan gambar yang menarik untuk menjepret arak-arakan. Spot menarik tersebut seperti latar belakang gedung-gedung ikonik ataukah kerumunan penonton.




(Reog Ponorogo beraksi saat HUT DKI Jakarta tahun lalu)


Selain itu, dengan memahami rute, fotografer dapat memastikan rute alternatif bila terjebak kepadatan penonton dan hendak pindah spot. Apalagi kalau jalanan terkena imbas macet, harus buru-buru mencari 'jalan tikus' untuk bergeser tempat.


Sebagai contoh karnaval HUT Kota Jakarta yang dimulai di depan Balaikota menuju patung kuda dan biasanya memutar di Bundaran HI. Perlu diingat, kemacetan sudah terasa dari Tugu Tani sehingga perlu diantisipasi dengan datang lebih awal.


Dengan rute tersebut, setidaknya fotografer dapat mengambil 4 spot utama yakni di depan Balaikota saat peserta karnaval beraksi, di sekitaran patung MH Thamrin/Patung Kuda hingga depan Bank Indonesia, di perempatan Sarinah dan terakhir di Bundaran HI. Dengan rute demikian, bagaimana membuat rute alternatif supaya tidak terjebak macet dan kerumunan penonton ?


Ketiga, masalah keamanan. Pastikan lensa, dompet dan barang berharga tersimpan aman dan jauh dari tindak kriminal. Sebab, dalam beberapa kasus, kecopetan hingga kehilangan lensa dialami para fotografer saat berdesakan dengan penonton. Lensa yang dicopet biasanya lensa tele/lebar saat ditaruh ditas pinggang khusus untuk lensa.


Jangan sampai keasyikan memotret sehingga tanpa sadar lensa di pinggang dicopet. Akan lebih baik bila tetap membentuk kelompok kecil dengan teman untuk saling mengawasi.


Keempat, kemampuan teknis yang terasah. Memotret karnaval membutuhkan kepiawaian teknis yang matang. Sebab, memotret subjek yang berjalan tentu lebih sulit daripada memotret subjek diam. Selain itu, momen berjalan begitu cepat, mendadak dan biasanya diluar perkiraan.


Kemampuan lensa juga sebisa mungkin mampu menjangkau sudut lebar, tele hingga detail. Kalau mempunyai tiga kemampuan itu sekaligus dalam satu lensa yang maksimal, tenti tidak masalah.


Hanya saja, biasanya kemampuan tersebut terpecah dalam 2 lensa yakni lensa lebar dan panjang. Nah, gonta-ganti lensa lebar-tele yang cepat tersebut yang membutuhkan keberanian sehingga tidak momen keren tidak lepas dari depan mata begitu saja.


Kemampuan teknis juga diperlukan guna mengantisipasi perbedaan cahaya (exposure). Misalnya iring-iringan karnaval dari jalanan dengan cahaya menyengat tiba-tiba terkena bayangan pohon atau gedung yang gelap. Tentu membutuhkan kecepatan mengantisipasi perbedaan tersebut, bisa dengan merubah ISO atau memperbesar diafragma.


Kelima, tidak semua penyelenggara memahami kebutuhan fotografi. Apakah yang dibutuhkan fotografer? space yang nyaman, setting panggung yang padat, tidak ada noise-noise gambar sehingga membuat gambar 'bocor' dan rute karnaval membelakangi arah matahari atau siang hari bolong.


Di beberapa event, 'pesan sponsor' seperti dari pemerintah setempat atau sponsor swasta mengganggu secara visual. Sebut saja para pejabat yang terlalu banyak nongol di frame maupun spanduk sponsor ada dimana-mana.


Belum lagi bila pengaturan peserta karnaval yang tidak baik sehingga jarak satu kelompok karnaval dengan kelompok lain berjauhan, gambar menjadi kurang padat dan kolosal.


Dengan memahami kelemahan tersebut, tinggal bagaimana fotografer mensiasti dengan pintar mencari spot untuk kebutuhan gambar yang dibutuhkan.


Keenam, sebisa mungkin foto karnaval terlihat dinamis, variatif dan tidak membosankan. Artinya fotografer dituntut merekam event tersebut secara maksimal, tidak hanya pada satu angle saja.


Misalkan karnaval yang menonjolkan fashion atau kostum yang glamor dan colorfull membuat sebagian fotografer 'terlena' dan fokus memotret baju karnaval saja. Sementara detail, suasana dan hiruk-pikuk pawai terlewatkan.


Alhasil, mata fotografer pun dituntut untuk tetap fokus ke hal-hal besar tanpa mengurangi konsentrasi ke hal-hal kecil. Fotografer tidak hanya memencet shutter melainkan mempunyai cerita, tujuan dan pesan saat memotret dan pasca memotret.


Ketujuh, pengulangan. Tantangan yang lebih sulit yakni bagaimana fotografer menghindari pengulangan dan keluar dari adegan yang membosankan dari karnaval satu ke karnaval yang lain.


Sebab tidak bisa dipungkiri, foto karnaval apalagi yang bersifat tahunan akan begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Apalagi bila memotret untuk kedua kali atau ketiga kalinya, rutinitas akan membuat kreatifitas sedikit tumpul.



(Cap Go Meh di Bogor. Perlu izin ke pemilik toko untuk mendapatkan view dari atas ini)


Solusinya, kreatifitas perlu diasah terus dengan saling berdiskusi sesama pecinta fotografi. Juga melihat berbagai literatur dan karya foto orang lain. Atau dengan mempelajari foto-foto karnaval tahun sebelumnya, saat akan memotret karnaval serupa. Tujuannya untuk untuk mencari inovasi baru dan foto yang lebih unik dan menarik.


(Ari/ash)