(tengah) M. Budi Setiawan di peresmian kantor Qualcomm (rou/detikINET)
"Rp 55 miliar itu hanya hitungan pesimistis yang paling mahal. Tapi kami optimistis biayanya bisa lebih murah. Semua biaya ini ditanggung operator, bukan pemerintah," kata Muhammad Budi Setiawan, Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos Informatika Kementerian Kominfo.
Ditemui usai peresmian kantor baru Qualcomm di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (1/5/2013), Budi memaparkan, jumlah kisaran biaya tersebut sudah termasuk biaya pengadaan dan pemasangan filter sebagai antisipasi terjadinya potensi interferensi.
Interferensi yang dimaksud adalah potensi gangguan jaringan yang dipicu oleh gesekan frekuensi yang berdekatan antara 3G UMTS di 2,1 GHz, terutama di kanal 11 dan 12, dengan frekuensi di 1.900 MHz yang ditempati Smart Telecom dengan teknologi PCS.
Budi mengatakan, menurut kalkulasi vendor, biaya penggunaan filter hanya berkisar Rp 6 juta untuk satu unit filter. Angka tersebut sudah termasuk biaya pengadaan perangkat dan biaya pemasangan.
"Kalau kompak operatornya, estimasi biaya itu bisa lebih murah. Pemasangan filter juga hanya co-location saja. Dalam arti, tidak semua radio pemancar BTS perlu dipasang filter, tapi hanya yang berhadapan saja," jelasnya.
Dirjen juga mengatakan, migrasi ini akan mulai dieksekusi paling lambat akhir Mei ini dimulai oleh Axis Telekomunikasi Indonesia, dan kemudian disusul oleh Hutchison 3 Indonesia, Indosat, XL Axiata, dan Telkomsel.
"Peraturannya tinggal ditandatangani menteri. Nanti migrasinya island base, dimulai dari trafik yang sepi oleh Smart dan Axis tentunya, selain di Jawa, Bali, Lombok. Itu akan jadi bagian lampiran di Kepmen. Setelah itu Hutch juga bisa pindah ke tempat sepi. Kita mulai minggu keempat Mei, dan selesai maksimal enam bulan hingga Oktober," papar Budi.
(rou/ash)