Menggarap Open BTS di Tanah Papua

Jakarta - Daerah terpencil dengan akses transportasi sulit umumnya kurang dilirik oleh operator telekomunikasi. Namun justru disitulah teknologi Open BTS malah sangat berguna, seperti yang telah diimplementasikan di salah satu daerah terpencil dekat Wamena.

Alasan operator seluler enggan mengembangkan layanannya di daerah terpencil adalah karena biaya yang tak sedikit. Apalagi jumlah penggunanya juga tak sebanyak di daerah perkotaan. Karena itu daerah terpencil pun kerap dianaktirikan.


Namun Kurtis Heimerl, CEO Endaga, mengatakan ini justru peluang untuk mengimplementasikan teknologi Open BTS. Dikatakannya teknologi Open BTS tak membutuhkan banyak biaya, namun sudah bisa membuat orang-orang yang tinggal di daerah terpencil saling berkomunikasi seperti pengguna ponsel di kota besar.


“Saat pertama kali diperkenalkan teknologi Open BTS memang masih lumayan mahal yakni senilai USD 10 ribu per unitnya. Tapi sekarang harganya telah mencapai angka USD 6 ribu, bahkan juga ada yang telah menjualnya seharga USD 5 ribu,” ujar Heimerl kepada detikINET, Rabu (15/10/2014).


Open BTS adalah teknologi telekomunikasi seperti yang ditawarkan oleh operator-operator seluler ternama. Bedanya, bila BTS milik operator seluler bisa menghubungkan penggunanya ke berbagai daerah, Open BTS hanya menghubungkan pengguna secara lokal, tergantung seberapa jauh Open BTS bisa meng-cover wilayah jangkauannya.


Heimerl sendiri telah mengimplementasikan teknologi Open BTS di daerah pedalaman Papua yang berjarak 4 jam berkendara dari Wamena. Di situ Open BTS miliknya meng-cover jaringan seluler secara lokal hingga jarak sekitar 3 sampai 5 km.


Dalam jangkauannya, open BTS Heimerl melayani sekitar 500 orang pelanggan. Menariknya, tak hanya menyuguhkan komunikasi telepon dan sms secara lokal bagi warga di daerah tersebut, open BTS yang berjalan atas nama Endaga tersebut ternyata juga bisa terhubung ke nomor operator seluler lain.Next


(yud/fyk)