Hal itu disampaikan oleh Kurtis Heimerl yang merupakan penggiat Open BTS sekaligus CEO Endaga. Menurutnya dengan kondisi geografis seperti Indonesia, penggunaan Open BTS adalah yang paling masuk akal, terutama untuk menjangkau daerah-daerah terpencil yang terhalang gunung atau berkontur geografis sulit dijangkau.
“Implementasi Open BTS sesuai untuk daerah terpencil karena jauh lebih murah dan fleksibel. Kita tak perlu repot-repot membangun menara, cukup letakkan saja di atas pohon maka seluruh wilayah di sekitar itu akan dapat ter-cover,” ujarnya kepada detikINET, Rabu (15/10/2014).
Heimerl juga berpendapat alasan operator seluler enggan menjangkau daerah terpencil di Indonesia adalah karena membutuhkan biaya yang tak sedikit. Tak cuma harus membangun menara untuk tempat BTS, proses perawatan juga dianggap sulit tiap kali terjadi masalah.
“Bayangkan mereka (operator seluler-red) harus mengirim teknisinya puluhan kilometer jauhnya hanya untuk memperbaiki satu BTS yang rusak. Jadi jawaban dari permasalahan itu adalah Open BTS,” imbuh Heimerl.
Namun ternyata tak cuma Indonesia dengan kondisi geografis sulit yang disarankan mengimplementasikan Open BTS, negara sekelas Amerika Serikat pun mengadopsi teknologi ini untuk meng-cover daerah-daerah yang terpencil.
“Di Amerika Serikat, penggunaan Open BTS banyak dilakukan di daerah-daerah terpencil. Biasanya layanan Open BTS ditangani oleh orang-orang lokal yang menjadikannya sebagai usaha layanan telekomunikasi dalam tingkat mikro,” tambahnya lagi.
Adapun menurut Heimerl contoh negara-negara yang sulit memeratakan jangkauan selulernya adalah Pakistan, Afganistan, Meksiko dan Indonesia. “Tapi dari semuanya yang paling buruk adalah Indonesia, pastinya,” pungkas Heimerl.
(yud/ash)