Sebagai pelaku sejarah yang mengalami masa awal internet di Indonesia, praktisi internet M. Salahuddien justru melihat kesempatan bersuara pada zaman sekarang begitu terbuka lebar.
Ia bercerita, dulu jika ingin nimbrung dan mengirim artikel di mailing list (milis) harus anonim. Belum lagi ketika masa reformasi bawa modem ke kampus ditahan Bakorstanas ( Badan Koordinasi Stabilitas Nasional).
"Sekarang mau ngeblog sampai memaki-maki pejabat tenang saja. Gitu kok masih kurang bablas gimana. Mereka yang sekarang teriak kebebasan itu gak pernah alami yang namanya pemberangusan kayak apa. Dulu bikin diskusi simposium di kampus saja mesti lapor Korem, Kodam segala," lanjut Didin, begitu biasa ia dipanggi saat berbicang dengan detikINET.
Jadi ia ingin menegaskan jika sekarang ini tak ada yang namanya pembungkaman, selain memang sudah gak ada lagi instrumennya -- UU yang dapat membungkam kritik dan menangkap orang semena-mena sudah tidak ada. Lembaga yang represif seperti Deppen, Bakorstanas dan lainnya juga sudah bubar.
"Pers merdeka, politik bebas, demokrasi kita nomor satu dan terbesar kedua. Bahkan penguasanya pun sudah berubah paradigma gak ada yang kebal hukum lagi. Kalau salah ya terjungkal. Jadi gak ada itu isu pembungkaman kebebasan berekspresi justru itu tadi yang ada: kebablasan!" Didin menegaskan.
Kejahatan cyber yang terjadi di Indonesia bak gunung es. Sering kali yang terlihat cuma puncaknya, padahal di bawah, menyimpan berkas kejahatan yang jauh lebih mengerikan.Next
(ash/rou)