'Fee Kurator Wajib Dibayar, Tapi Rp 146 M Tidak Wajar!'




Ilustrasi (Ist.)


Jakarta - Penetapan fee kurator Rp 146,808 miliar yang ditagihkan ke Telkomsel turut menyita perhatian banyak pihak. Termasuk praktisi hukum yang juga berprofesi sebagai kurator. Ketua Asosiasi Advokat Indonesia, Cabang Jakarta Pusat, James Purba, misalnya.

Lawyer yang juga berprofesi sebagai kurator ini menilai, perselisihan antara Telkomsel dan tim kurator yang menangani kasus pailitnya, seharusnya bisa menyelesaikan permasalahan ini secara musyawarah.


Karena menurutnya, dari sisi aturan hukum, baik menggunakan Permenkumham baru No. 1/2013 maupun Keputusan Menteri Kehakiman sebelumnya No. 9/1998, kurator memang berhak mendapatkan fee.


"Cuma masalahnya, fee yang wajib dibayar itu jumlahnya ya sewajarnya saja. Kalau Telkomsel harus membayar fee Rp 146,8 miliar, memang kelewat besar dan tidak wajar. Itu menurut pandangan saya dari sisi independen," ujar James berpendapat lewat sambungan telepon, Jumat (15/2/2013).


Seperti diberitakan sebelumnya, Telkomsel menolak untuk membayar fee kurator sebesar Rp 146,808 miliar hingga jatuh tempo hari ini. Sementara, tim kurator kasus pailitnya juga bersikeras Telkomsel harus membayar jika tak mau digugat somasi.


Kedua pihak ini berselisih paham mengenai dasar hukum yang digunakan dalam penetapan kasus ini. Pihak Telkomsel hanya mau membayar dengan hitungan jam kerja (main hours), sementara tim kurator tetap berpatokan pada putusan PN Jakpus yang menghitung fee dari persentase total aset.


Menyikapi masalah ini, James berpendapat. Menurut Permenkumham yang dikutipnya, penghitungan fee kurator seharusnya tidak berdasarkan persentase total aset karena Telkomsel terbukti tidak pailit diputuskannya permohonan kasasi oleh Mahkamah Agung.


"Telkomsel kan belum pailit benaran. Lagipula, tidak ada penjualan aset. Hanya administrasi dan penagihan. Itu pun belum selesai lalu sudah bebas pailit. Jadi fee tidak bisa dihitung dari total aset karena tidak ada pemberesan. Jadi sewajarnya saja," jelasnya lebih lanjut.


Praktisi hukum ini juga menilai, kewajaran untuk menentukan fee kurator bisa dinilai berdasarkan kinerja, jam kerja, profesionalisme, atau bahkan dari sisi senioritasnya menangani kasus hukum.


"Hitung saja mereka kerja berapa jam. Kurator itu tidak ada patokan fee-nya. Tergantung tarif masing-masing. Misalnya, saya sebagai kurator pasang tarif USD 100 per jam. Atau Rp 5 juta per jam. Ya bisa-bisa saja. Tidak ada patokannya. Kalau kliennya mau, ya sah-sah saja," jelasnya.


"Sebelum Permenkumham yang baru pun begitu. Penghitungannya ada juga yang jam-jaman. Kalau dalam tempo tidak sampai 3 bulan dapet fee sebesar itu, ya tidak wajar juga," papar James lebih lanjut.


Ia juga mengingatkan, penetapan fee kurator Telkomsel ini yang memutuskan adalah Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat. "Jadi pengadilan yang seharusnya lebih bijak. Kuratornya mungkin tidak bisa disalahkan sepenuhnya juga karena mereka mengikuti aturan dari pengadilan."


"Jadi silakan saja tanyakan kembali ke pengadilan, apa peran kurator yang signifikan, yang bikin biayanya sampai segitu besar. Apa jangan-jangan hakimnya diiming-imingi sehingga menetapkan fee yang besar, itu yang kita tidak tahu," ujar James.


Menjaga 24 Jam


Ia juga menilai, Telkomsel yang memiliki saham Merah Putih sebagai anak usaha Telkom seharusnya juga jadi pertimbangan. "Karena jika keputusan hakim salah, berarti ikut merugikan negara," tegasnya.


James juga malah mempertanyakan jika besarnya fee dikait-kaitkan dengan penjagaan aset Telkomsel selama 24 jam penuh agar tidak dilarikan.


"Kalau dikatakan para kurator ini menjaga aset Telkomsel 24 jam penuh dari Sabang sampai Merauke, bagaimana mereka menjaganya, apa mereka taruh sekuriti yang dibayar sendiri? Lagipula ketika pailit pun perusahaan tetep jalan. Semua biaya operasional yang menanggung tetap operator, bukan kurator," tukasnya.


Seperti diketahui, penghitungan fee kurator menurut penetapan PN Niaga Jakarta Pusat adalah berdasarkan perhitungan 0,5% dikalikan total aset yang dimiliki Telkomsel yakni sekitar Rp 58.723 triliun. Hasil perkalian itu adalah Rp. 293.616.135.000.


Angka sekitar Rp 293.616 miliar ini dibagi dua antara Telkomsel dengan Prima Jaya Informatika selaku pemohon pailit. Sehingga masing-masing dibebankan Rp 146.808 miliar. Pola perhitungan itu menggunakan Keputusan Menteri Kehakiman No. 9/1998.


Sedangkan Telkomsel berpandangan aturan yang digunakan adalah Permenkumham No 1/2013 tentang imbalan jasa kurator yang berlaku 11 Januari 2013. Dalam aturan ini seharusnya perhitungan fee kurator adalah berdasarkan jumlah jam kerja dan bukan berdasarkan perhitungan persentase aset pailit.


Jika mengacu kepada jam kerja, dengan asumsi tarif masing-masing kurator per orang Rp 2,5 juta per jam, 8 jam per hari, selama 86 hari, maka total imbalan 3 kurator sekitar Rp 5,160 miliar dan dibebankan kepada pemohon pailit.


Tetap Menolak


Sementara di lain kesempatan, pihak Telkomsel masih berkeras menolak pembayaran Rp 146,808 miliar hingga batas akhir yang jatuh tempo hari ini, Jumat (15/2/2013).


"Kami tidak akan melakukan pembayaran karena tidak menganggap adanya tagihan. Bagi kami tagihan itu tidak wajar dan cacat hukum," tegas Andri W Kusuma, kuasa hukum Telkomsel.


Dipaparkannya, dalam Permenkumham yang mengatur tentang imbalan jasa kurator baik No. 9/1998 atau No. 1/2013 secara jelas diatur tiga hal.


Pertama, perhitungan berdasarkan aset jika pailit benar terjadi. Kedua, jika terjadi perdamaian tetap ada pemberesan dan dihitung 2% dari aset. Ketiga, jika pailit dibatalkan di tingkat kasasi atau Peninjauan Kembali (PK), fee kurator dihitung berdasarkan jam kerja.


Perbedaan di Permenkumham lama atau baru ini adalah, di aturan lama jika tidak terjadi pailit fee kurator dihitung berdasarkan jam kerja dan ditanggung berdua. Sedangkan di aturan baru jika tidak terjadi pailit fee dihitung berdasarkan jam kerja dan ditanggung pemohon.


"Jadi, saya tegaskan, mau pakai aturan lama atau baru sama saja. Hitungannya berdasarkan jam kerja. Bukan nilai total aset," tegasnya.


Terkait akan adanya upaya hukum ke Telkomsel jika tidak memenuhi batas waktu pembayaran, Andri dengan santai menjawab. "Silakan saja jika mau eksekusi kalau bisa," katanya.


Sementara Feri S Samad dari tim kurator, mengatakan telah menerima surat resmi dari kuasa hukum Telkomsel. "Intinya mereka masih keberatan dengan penetapan tersebut karena tidak menggunakan Permenkumham yang baru," ujarnya lewat pesan singkat.


Tim kurator juga mengakui pihaknya sempat membuka ruang untuk bermusyawarah. Bahkan, tim kurator juga berencana untuk menunjuk mediator dari tokoh hukum agar menjadi penengah perselisihan ini.


"Prinsip kami dari awal adalah musyawarah. Pertemuan di tempat kami pada Senin 11 Februari lalu itu langkah awalnya. Pada prinsipnya kami siap untuk bermusyawarah kapan saja. Tapi tiba-tiba datang kuasa hukum baru yang diberikan kuasa untuk melakukan perlawanan atas penetapan imbalan jasa kurator tersebut. Jadi belum sempat bicara musyawarah," sesalnya.


( rou / ash )


Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!