Walau dia merasa semua yang menjadi terkoneksi dengan dia di Path adalah rekan dan sahabat, tapi tidak serta merta tidak bisa menyebar. Karenanya ketika kemarahannya menjadi viral, menyebar ke mana-mana dan menjadi isu nasional, dia mendapat bully. Belum lagi akun Twitter dan Facebooknya diserang.
"Di media sosial jika kita menyakiti seseorang atau sekelompok orang, etnis tertentu, efeknya jauh lebih dahsyat. Ada efek viral," jelas pakar media sosial, Nukman Luthfie saat berbincang, Jumat (29/8/2014).
Belajar dari kasus Florence itu perlu bijak dalam bermain media sosial. Walau bermula dari kemarahannya terkait antrean BBM, tetap saja ada efek di media sosial yang bisa menyebar kemana-mana. Jauh berbeda dengan kemarahan di offline.
"Ketika posting sesuatu jangan diposting saat marah, sebaiknya saat marah jauh-jauh dari media sosial. Jangan diungkapkan di media sosial karena akan ada kemungkinan pihak tertentu merasa kena. Ada teman kita yang nggak suka, kemudian akan disebarkan ke media lain," urai Nukman.
Seperti kasus Florence ini berawal dari Path tapi kemudian menyebar ke Twitter dan Facebook. Tak hanya kasus Florence, dahulu seseorang yang marah terkait kursi untuk ibu hamil di kereta juga demikian.
"Saya yakin Florence nggak maksud seperti itu. Dia hanya ngedumel, ya tapi ngedumel di offline beda dengan online, ada efek viralnya," terang dia.
"Di media sosial, di saat kamu marah kamu geram, kegeraman jangan ditumpahkan di media sosial karena hukuman sosialnya jauh lebih berat dari offline. Seperti Florence ini kan statusnya sampai dikirm ke dosennya di UGM, dikirim kemana-mana, malunya nasional. Juga efeknya, bahkan ada yang mau usir dari Yogya dan sekarang memperkarakan ke polisi," tutupnya.
(sip/ash)