Menghindari Sadisme Saat Memotret Hewan Kurban

Jakarta - Darah kental yang berwarna merah dan rasa pasrah hewan kurban saat disembelih. Pisau jagal yang super tajam dan tetesan keringat petugas saat membekap hewan pada detik-detik eksekusi.

Semuanya menjadi momen yang sangat menarik, penuh drama dan menggugah emosi. Setidaknya secara visual, semuanya bisa dieksplorasi menjadi foto yang teatrikal.


Akan tetapi, sebagai fotografer tentu terikat asas kepatutan. Apakah pantas menjepret eksekusi itu sebagai kenyataan ataukah menyembunyikan sebagian momen karena dinilai terlalu sadis bagi sebagian kalangan.


Beberapa foto yang pernah dihasilkan sampai memperlihatkan lelehan darah merah segar dan menyulut kontraversi. Juga wajah iba dan memelas hewan korban yang di-capture begitu close up sehingga menimbulkan tafsiran berbeda-beda.


Apalagi kalau foto tersebut diunggah ke media sosial dan menjadi konsumsi publik, maka persoalan kepatutan tersebut perlu diperhatikan. Yakni bagaimana memotret proses ritual tersebut dengan wajar dan tidak dilebih-lebihkan.


Pertama, juru potret bisa mengesampingkan emosi pembantaian dan kekerasan dalam foto-foto yang dihasilkan. Meski pada praktiknya tidak ada sama sekali praktik sadisme bahkan hewan tersebut disembelih dibawah kalimat takbir, namun bahasa foto mempunyai keterbatasan dan multitafsir.


Sehingga, tanpa menghilangkan fakta, ada baiknya memotret hewan kurban tanpa perlu mengeksploitasi secara berlebihan. Buatlah foto-foto yang soft. Tidak secara vulgar memotret eksekusi dengan menampilkan tetesan darah yang mempunyai kesan berbeda bagi tiap-tiap individu.Next


(Ari/fyk)