Menurut praktisi internet M. Salahuddien, salah satu syarat dalam pergaulan global kini adalah adanya platform cyber regulation. Sebab di era sekarang kerjasama bilateral dan regional itu berbasis ICT/internet.
"Di akhir 2015 ini yang langsung kita hadapi salah satunya adalah ASEAN. Dan untuk diketahui kita berada di peringkat 13 di bawah negara ASEAN lainnya di cyber security index ITU, dimana salah satu sebabnya adalah kurangnya regulasi cyber," ungkap pria yang kerap disapa Didin Pataka ini kepada detikINET.
Malaysia, Singapura, Thailand bahkan Vietnam peringkatnya di atas Indonesia dalam urusan ini. Padahal market Indonesia disebut Didin bisa tiga kali lipat lebih besar dari total cyber market seluruh ASEAN.
Sebab regulasi cyber Indonesia tertinggal jauh dari negara negara ASEAN tersebut. Apalagi global, mereka sudah punya UU tindak pidana cyber, UU online privacy protection dan lain sebagainya.
"Sedangkan kita masih saja diserbu penipu SMS mama minta pulsa, bandit penjual elektronik online bodong. Bahkan ada yang sudah punya atau sedang menyiapkan UU digital identity, sedangkan kita ini e-ktp saja sudah gak jelas nasibnya," kata Didin.
Dengan demikian, ketika ada usulan pemangkasan UU ITE, Didin menganggap harus disimak dengan lebih hati-hati. Jangan sampai terjadi amputasi UU ITE, periksa dulu agenda apa di belakangnya.
"Terlebih, belakangan ada perlawanan keras di persidangan pidana porno dan judi online menumpang isu kebebasan berekspresi," ia mewanti-wanti.
Khusus untuk Komisi 1 DPR RI yang bakal membahas revisi UU ITE di Program Legislasi Nasional 2015, Didin mengharapkan para anggota dewan bisa melihat semua perspektif secara komprehensif, tidak hanya mendengar dari kawan-kawan dekatnya.
(ash/fyk)