Alasan GSMA-ITU Dorong 4G LTE di 700 MHz

Jakarta - GSM Association (GSMA) dan International Telecommunication Union (ITU) menilai spektrum 700 MHz merupakan rentang frekuensi terbaik untuk menyediakan akses layanan mobile broadband menggunakan jaringan pita lebar seluler 4G berbasis LTE.

Kedua asosiasi telekomunikasi dunia itu sepakat, 700 MHz menjadi spektrum pilihan pertama karena pitanya yang lebih lebar, sehingga cakupannya lebih luas dan bisa menghemat investasi dalam pembangunan stasiun pemancar radio.


"Selain itu, negara yang mengadopsi spektrum 700 MHz untuk 4G LTE sudah lebih banyak sehingga dari sisi ekonomis perangkat dan jaringan jadi lebih murah," kata Chris Perera, Senior Director Spectrum Policy & Regulatory Affairs Asia Pacific GSMA, di Grand Hyatt Jakarta, Kamis (23/5/2013).


Sementara menurut Suvi Linden, Special Envoy for the Broadband Commission for Digital Development ITU, dengan luasnya jangkauan jaringan di frekuensi 700 MHz dapat mendorong pertumbuhan penetrasi internet pada urban area (perkotaan) sekitar 9%, dan rural area (pedesaan) sebesar 30%.


"Urban area dapat menikmati high speed broadband, sedangkan sinyal yang jauh dapat mencapai rural area lebih luas dengan investasi yang lebih sedikit jika dibanding menggunakan frekuensi di atas 700 MHz," kata Suvi yang sebelumnya pernah bertugas sebagai Menteri Kominfo di Finlandia.


Seperti diketahui, di 700 MHz ada lebar pita 328 MHz. Namun frekuensi itu masih digunakan oleh para penyelenggara siaran TV terestrial free-to-air yang tengah bersiap migrasi dari layanan analog ke digital. Nanti setelah selesai migrasi, Indonesia bisa mendapatkan digital dividen 112 MHz. Namun sayangnya, migrasi ini baru selesai 2018.


GSMA menilai migrasi itu terlalu lama. Dari data yang dilaporkan Boston Consulting Group (BCG), Indonesia bisa mengalami potensi kerugian lebih dari USD 20 miliar atau sekitar Rp 200 triliun jika terlambat memanfaatkan digital dividen di spektrum 700 MHz.


Disebutkan, penundaan harmonisasi selama dua tahun, dari 2014 ke 2016, bisa menghasilkan kerugian lebih dari USD 7,5 miliar untuk GDP, USD 2,5 miliar untuk pajak, 39.000 usaha dan 75.000 lowongan kerja.


Sedangkan penundaan selama empat tahun, dari 2014 ke 2018, bisa menghasilkan kerugian sebesar USD 16,9 miliar untuk GDP, USD 4,7 miliar untuk pajak, 79.000 usaha dan 152.000 lowongan kerja.


"Dari studi kami juga, tidak semua propinsi di Indonesia yang menggunakan 700 MHz untuk siaran TV terestrial. Daerah-daerah seperti ini bisa dijadikan tonggak awal untuk memulai harmonisasi digital dividen untuk mobile," kata Perera.


Suvi menambahkan, pemerintah Indonesia juga perlu membuat roadmap penataan frekuensi. Sebab, operator ke depannya memerlukan tambahan frekuensi sejalan dengan perkembangan teknologi dan permintaan pelanggan.


"Apalagi 60% konten mobile diprediksi berasal dari konten video, seperti video streaming, video conference, dan video on demand," katanya.


Dari riset Global Information Technology Report 2013 menyebutkan adopsi teknologi pita lebar mobile di Indonesia meningkat lebih dari sepuluh kali lipat dari 2010-2011 dengan jumlah pelanggan mencapai 22 per 100 penduduk.


Peringkat Indonesia sebagai wilayah yang menggunakan teknologi informasi komunikasi naik 15 peringkat menjadi posisi ke 70 dari 144 negara. Tingkat intensitas penduduk Indonesia terhadap jejaring sosial cukup tinggi. Meski berada di posisi 51 di dunia, nilainya sebesar 5,7 dalam skala 1 hingga 7.


(rou/fyk)