'BlackBerry Masih Mahal untuk Pasar Indonesia'

Orlando - Harga jual perangkat BlackBerry diakui masih cukup tinggi untuk pasar negara berkembang seperti Indonesia. Itu sebabnya, vendor asal Kanada itu harus memperbaiki strateginya agar pelanggan tetap 'lengket' dan tidak gampang kabur (churn).

Tak bisa dipungkiri, emerging market alias pasar negara-negara berkembang seperti Afrika, Timur Tengah, Amerika Latin, dan Asia dengan Indonesia pada khususnya, telah menjadi lahan basah bagi bisnis BlackBerry.


Dari 200 juta lebih ponsel yang terjual sejak perusahaan berdiri, mayoritas pertumbuhan pasarnya saat ini diadopsi oleh emerging market. Namun di tengah gempuran membanjirnya smartphone murah yang kualitasnya juga terus membaik, BlackBerry jelas tak boleh berdiam diri.


Sementara ponsel terbarunya, BlackBerry Q5, yang ditargetkan untuk segmen pasar negara berkembang dengan perkiraan banderol harga Rp 4 jutaan, dinilai masih cukup tinggi harganya untuk diadopsi secara luas.


"Bagi situasi mereka di emerging market, butuh waktu untuk dapatkan confidence orang kembali terkait device quality. Apalagi price point-nya (BlackBerry) tidak di level for the masses," kata President Director & CEO Indosat, Alexander Rusli kepada detikINET, Rabu (22/5/2013).



Alex yang sempat menjadi pembicara di ajang BlackBerry Live 2013 di Orlando, AS, bersama para petinggi dari pasar-pasar negara berkembang juga menggarisbawahi beberapa poin penting agar BlackBerry tidak kehilangan pasarnya.


Pasar negara berkembang seperti Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika Latin diakui adalah pengadopsi tercepat untuk inovasi mobile. Hal ini dikarenakan, smartphone telah menjadi perangkat pertama yang memberikan pengalaman internet mobile di saat banyak pengguna yang belum merasakan akses internet lewat PC maupun laptop.


Para panelis juga sepakat, ada kesenjangan dari sisi teknologi, infrastruktur, dan tuntutan masyarakat di negara berkembang, dimana BlackBerry harus bekerja keras untuk mengisi kesenjangan tersebut jika ingin sukses.


Semua panelis yang hadir kemudian memberikan pandangan dengan suara bulat tentang bagaimana pasar negara berkembang harus dilihat oleh BlackBerry sebagai pusat inovasi yang unik. Indonesia misalnya, pasar besar yang terbagi dari banyak komunitas.


"Salah satu topik yang dibicarakan kemarin memang strategi apa yang didorong BlackBerry untuk the masses, youth, dan lainnya. Saat ini kelemahan mereka ada beberapa, termasuk application ecosystem, yang juga bisa jadi pull factor," kata Alex.


"Indosat bersama dengan BB community di Indonesia, berupaya menjadi bridge di sini. Mencari aplikasi-aplikasi yang bisa membuat orang sticky dengan BlackBerry. Secara global, hal ini juga didorong oleh BlackBerry. Dan diharapkan dengan upaya-upaya ini, stickiness dapat tercipta," tandas mantan staf ahli Menkominfo dan Menteri BUMN ini.


(rou/rou)