Rumor hangat ini pun sudah sampai ke telinga para petinggi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Faktanya, Kominfo tidak kaget mendengar kabar ini karena telah jauh-jauh hari memprediksi hal semacam ini bakal terjadi.
"Sejak 2006 kami sudah memprediksi, cepat atau lambat para operator telekomunikasi akan mengalami konsolidasi akibat persaingan bisnis telekomunikasi yang makin ketat," kata Gatot S Dewa Broto, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, kepada detikINET, Jumat (24/5/2013).
Perlu diketahui, Indonesia dalam hal industri telekomunikasi memang sangat berbeda dengan negara lain pada umumnya. Meskipun hanya memiliki populasi 250 juta penduduk, jumlah operator yang memiliki izin telekomunikasi mencapai 11 perusahaan.
Bandingkan dengan negara-negara lainnya. Mayoritas rata-rata hanya memiliki tiga operator. Bahkan untuk negara sebesar China, India, bahkan Amerika Serikat. Mereka tetap menjaga jumlah operator tak terlalu banyak agar spektrum frekuensi yang tersedia tetap besar.
Masalah ini belum dipahami Indonesia saat awal-awal menghapuskan rezim duopoli yang digantikan rezim oligopoli. Dampak dari kompetisi bebas dengan membuka peluang sebesar-besarnya untuk menambah operator agar tarif bisa terus ditekan turun ternyata kebablasan.
Imbasnya, cash flow operator tak lagi sehat dan harus berdarah-darah dalam memenangkan kompetisi, atau setidaknya agar bisa tetap eksis bertahan. Jika pada akhirnya kalah dan menyerah, maka jalan terakhir yang mungkin bisa ditempuh adalah menyelamatkan diri lewat aksi merger maupun akuisisi.
Dibandingkan cuma merger, operator yang duitnya lebih banyak, tentu dalam posisi yang lebih menguntungkan untuk akuisisi. Tujuannya jelas, mereka butuh tambahan spektrum frekuensi untuk terus ekspansi. Namun sayangnya, akuisisi pun tak semudah itu. Ada ribuan karyawan yang harus ditanggung nasibnya, dan itu jelas jadi beban tambahan di kemudian hari.
Kominfo sendiri mengharamkan jika akuisisi ini hanya akan jadi alat transaksi jual-beli frekuensi. "UU Telekomunikasi tidak memperbolehkan pemindahtanganan kepemilikan izinnya kepada pihak lain," tegas Gatot.
Dengan demikian, lanjut dia, cara yang sering diantisipasi oleh dua operator yang ingin merger ini hanya sebatas merger di level holding company saja. "Karena ada pasal yang harus mereka hindari," tutur juru bicara Kominfo tersebut.
Belum Lapor
Sejauh ini, ditegaskan oleh Gatot, Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) belum mendapat laporan dari kedua belah pihak, baik XL maupun Axis, terkait kabar soal akuisisi ini.
"Seharusnya mereka kirim surat pemberitahuan resmi soal itu, dan juga ke KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Isinya adalah latar belakang, tujuan merger akuisisi, dan bagaimana pengaturan alokasi frekuensinya," tukasnya.
Surat itu juga harus menjelaskan konfigurasi proporsi kepemilikan sahamnya. Sebab, hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Kominfo (Permen) tentang Penyelenggaraan Jaringan telekomunikasi.
"Saat ini BRTI sedang menyusun RPM (Rancangan Permen) yang mengatur tentang merger dan akuisisi. Namun meski RPM itu belum selesai, tidak ada halangan bagi operator untuk melakukannya. Boleh jalan asal tidak melanggar ketentuan yang ada. Kurang lebih seperti Mobile-8 Telecom dan Smart Telecom," pungkas Gatot.
Isu Hangat
Rencana XL membeli Axis sejatinya sudah santer terdengar sejak beberapa tahun lalu. Namun isu itu sempat tenggelam hingga beberapa hari lalu, Bloomberg menerbitkan kabar yang membuat geger industri.
Disebutkan, Axiata Group Berhad, perusahaan telekomunikasi asal Malaysia yang memiliki XL, tengah mengevaluasi rencana membeli Axis. Penawaran pembelian terhadap Axis ini akan dilakukan langsung melalui XL.
Axiata Group sendiri mempunyai anak-anak usaha di banyak negara di Asia. Selain memiliki XL di Indonesia, kelompok usaha ini juga memiliki saham mayoritas operator Celcom di Malaysia, operator Robi (Bangladesh), Helllo (Kamboja), dan Idea (India).
Perusahaan ini juga memiliki saham operator MTCE di Iran, Multinet (Pakistan), M1 (Singapura), SIM (Thailand), dan Dialog (Srilanka). Pada 2012, Axiata Group mencatat pendapatan usaha 17,7 miliar ringgit Malaysia, dengan laba bersih 2,5 miliar ringgit. XL dan Celcom tercatat memberikan kontribusi terbesar atas kinerja Axiata Group.
Sementara itu, kepemilikan Axis 84% dikuasai Saudi Telecom Company (STC). Sisanya dimiliki oleh Maxis Communications Berhad. Saudi Fransi Capital memperkirakan nilai Axis sebesar USD 1 miliar, sementara saham Saudi Telecom diperkirakan bernilai USD 880 juta.
Sementara pada 2012, Axis juga mencatat pendapatan usaha sekitar Rp 2,4 triliun, naik 70% dari pendapatan 2011 yang Rp 1,4 triliun. Jumlah pelanggannya mencapai 17 juta nomor dengan jumlah Base Transceiver Stations (BTS) 9.700 unit.
Menurut sumber Axiata Group yang dituliskan Bloomberg, pembelian Axis akan menguntungkan bagi XL Axiata, sebab perseroan dapat menambah jumlah frekuensi yang dibutuhkan untuk melakukan ekspansi layanan selulernya.
Tambahan spektrum frekuensi akan memperkuat posisi XL Axiata untuk menambah layanan dan memperluas jangkauan layanan. Apalagi pada kuartal pertama 2013, laba XL Axiata turun 52% menjadi Rp 315 miliar dari periode sama 2012.
Sumber tersebut juga mengatakan bahwa konsolidasi XL Axiata dan Axis harus membutuhkan persetujuan dari pemerintah Indonesia.
Membantah
Saat dikonfirmasi langsung oleh detikINET, kedua belah pihak, baik XL maupun Axis, membantah kabar yang beredar tentang isu rencana akuisisi tersebut.
Anita Avianty, Head of Corporate Communication Axis menyatakan, pihaknya sejauh ini masih menjalankan bisnis seperti biasanya meski diterpa isu akuisisi tersebut.
"Di internal sendiri, tidak ada informasi terkait dengan hal yang ditanyakan. Jadi kami masih melihat kabar tersebut sekedar rumor atau spekulasi," kata Anita kepada detikINET, Jumat (24/5/2013).
Pun demikian, Axis menegaskan jika operator GSM tersebut tetap membuka diri untuk konsolidasi dengan pihak lain dalam mengarungi bisnis telekomunikasi Tanah Air.
"Kami terbuka untuk bekerjasama dengan pihak manapun. Tentunya yang bisa memberikan value untuk stakeholder," imbuh Anita.
Dari pihak XL sendiri, yang diwakili Vice President Corporate Communication Turina Farouk, tidak mengamini secara tegas soal isu akuisisi tersebut.
Ia hanya menuturkan bahwa berbagai kemungkinan konsolidasi di industri telekomunikasi begitu terbuka, dan jika dilihat itu sebagai langkah tepat tentu bisa saja dilakukan oleh XL.
"Banyak yang harus dipertimbangkan, tidak cuma terkait strategi perusahaan, tetapi juga soal posisi keuangan," ujar Turina menandaskan.
(rou/ash)