Misalnya gelaran teknologi seluler, yang kerap kali membuat Indonesia menjadi surga produsen luar. Sekalinya sudah sedemikian diproteksi untuk manufaktur nasional, contohnya teknologi WiMax, komersialisasi layanan pada akhirnya urung dijalankan.
Dalam konteks ini, setidaknya mengacu survei Sharing Vision pada triwulan I 2015 ini, Indonesia perlu agresif dan kukuh melindungi diri sendiri atas makin tajamnya penetrasi e-commerce/e-dagang pada masyarakat Indonesia.
Mengacu dari survei kami, pembeli daring (dalam jaringan/online) tahun 2012 lalu 3,1 juta dari total pengguna internet 59,6 juta. Selanjutnya, 4,6 juta pembeli dari 72,8 juta (2013), 5,9 juta pembeli dari 83,7 juta (2014), serta tahun ini 7,5 juta dari 93,4 juta atau mendekati 10% populasi.
Tambah menarik karena dalam periode kurang dari lima tahun, pertumbuhan e-dagang ini sudah tembus 100% (dari 3,1 juta 2012 menjadi 7,5 juta 2015). Itu pun diasumsikan prediksi tahun ini moderat, alias sangat mungkin terlampaui.
Alasannya, bisa dilihat dari responden survei kami, dimana 83,5% responden dalam jawaban terbuka pernah belanja online (40% menjual barang secara online, 81% membeli barang secara online, dan 47% melihat-lihat situs belanja online guna membandingkan harga).
Maka itu tak perlu heran, Menkominfo Rudiantara saat diwawancara, memprediksi jika nilai bisnis e-dagang tahun ini USD 20 miliar atau naik lebih dari dua kali lipat dari angka tahun 2013 sebesar USD 8 miliar. Kementerian Perdagangan juga mencatat kenaikan tiga kali lipat.Next
(ash/ash)