Demikian diungkap Sylvia Sumarlin, Ketua Umum Federasi Teknologi Informasi Indonesia (FTII) dan Wakil Ketua Internet Security Incident Responses Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII) M Salahuddien alias Didin Pataka.
"Indonesia sejak 2007 sudah jadi negara destinasi child traficking termasuk pornografi anak," kata Didin Pataka dalam sebuah perbincangan dengan detikINET, Senin (17/11/2014).
"Saat konferensi Interpol di Bali tahun 2007 lalu, mereka melulu bicara itu. Bali dipilih bukannya tak ada alasan, karena Bali itu sentralnya. 2007 itu titik baliknya karena dari 2005 sudah diperkirakan akan ada shifting dari Thailand ke Indonesia," paparnya lebih lanjut.
Apa yang diungkap pria dengan sapaan akrab Didin Pataka itu bukan klaim sepihak. Pasalnya, kasus perdagangan anak di bawah umur dan pornografi anak ini juga ikut diketahui Sylvia Sumarlin yang akrab disapa Evie.
"Saya waktu itu pernah dikasih lihat oleh Puslabfor. Ada situs yang kelihatannya harmless ternyata itu situs untuk jualan anak, pornografi anak. Tempatnya itu kayak resort, anak-anak bisa bermain di playground, ada film animasi, ada guru pakai seragam. Pokoknya bagus banget," kata Evie mulai bercerita.
"Tapi setelah diselidiki, ternyata animasinya itu porno total. Permainannya semua peralatan seks, dan malamnya anak-anak itu disuruh melayani. Orang tuanya dikasih tempat tinggal, sudah hidup enak. Jumlah anaknya 30-an. Pengelolanya orang asing. Itu jaringan lewat internet.
"Dibubarin pun mereka tinggal pindah-pindah tempat. Masyarakat setempat sudah dibeli, tidak ada yang mau mengadukan. Mereka dikasih pekerjaan bertani, hasilnya dibeli. Semua makanan organik. Kita yang melihat tidak akan menyangka. Apalagi anak-anaknya tidak ada yang menangis sedikitpun".
"Anak umur 5 tahun disuruh melayani bapak-bapak. Setelah 11 tahun sudah tidak dipakai lagi, disalurkan ke luar negeri. Dan Ibu-ibunya disuruh beranak terus supaya punya bayi," sesal Evie.
(rou/ash)