Polemik Pemblokiran: Menyepakati Standar, Mencegah Onar

http://us.images.detik.com/content/2015/03/31/398/sufyan35.jpgMuhammad Sufyan. (dok. pribadi)


Jakarta - “Information society,where knowledge is king, and information revolution,” Hamis McRae (The World in 2020 Power Culture & Prosperity: 1996)

Sejak Senin (30/3) malam, sebagaimana diwartakan detikINET, netizen di Indonesia riuh rendah membahas pemblokiran puluhan laman oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengacu rekomendasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).


Dengan alasan bernuansa radikalisme, sekalipun masih debatable, laman tersebut dimatikan regulator. Sebagai premis pertama dari perspektif ilmu komunikasi, nyata nian bahwa masyarakat informasi kian banyak terbentuk di Indonesia.


Masyarakat yang berbasis data, fakta, dan pengetahuan itu, secara empirik mengakses dan memantau sejumlah laman radikal yang sebagian besar tumbuh sebagai imbas fragmentasi Pemilu Presiden 2014. Persoalannya kemudian, pengetahuan itu dari awal dianggap propaganda satu kubu.


Lama-lama, propaganda berbasis fatsun politik itu malah berevolusi menjadi kobaran fundamentalisme -- beberapa menggelorakan perjuangan ISIS. Entah ada kaitan langsung atau tidak, kepergian sejumlah WNI ke Suriah belum lama ini, kian meneguhkan efek sebaran informasinya.


Karenanya, manakala pengetahuan kian merajai benak publik, sekaligus informasi berubah demikian rupa, komunitas informasi idealnya menggiring kepada kebaikan, menghantarkan publik yang mencerna banyak data dan fakta sebelum bersikap-bertindak.


Faktanya, setidaknya menurut BNPT, informasi yang diproses bahkan menjadi pemicu tindak radikal/negatif yang merugikan, baik bagi pengelola laman ataupun bagi sebagian masyarakat Indonesia yang terinisiasi setelah mengaksesnya.Next


(ash/ash)