Tidak Kuat Bangun Jaringan, Operator Disarankan MVNO

Jakarta - Operator seluler yang telah memiliki izin nasional disarankan untuk mengembalikan lisensi frekuensinya kepada negara dan meminta izin penyelenggaraan Mobile Virtual Network Operator (MVNO) jika sudah tak sanggup lagi membangun infrastruktur jaringannya hingga ke pelosok negeri.

Demikian Anggota Komite Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Muhammad Ridwan Effendi memberikan imbauan. Ia menegaskan, pembangunan jaringan menjadi kewajiban utama yang harus dipenuhi para operator seluler sesuai key performance index kewajiban lisensi nasional yang tertera dalam modern licensing.


"Jadi kalau ada operator yang tidak kuat bangun (jaringan) secara nasional, kalau saya sarankan sih, kembalikan saja frekuensinya ke negara, terus minta izinnya diganti jadi penyelenggara jasa alias MVNO," kata Ridwan kepada detikINET, Selasa (7/5/2013).


Seperti diketahui, saat ini di Indonesia beroperasi lima operator seluler dengan teknologi GSM (Global System for Mobile) dan lainnya ada lima operator berbasis teknologi CDMA (Code Division Multiple Access) dengan beberapa di antaranya sudah memiliki lisensi seluler nasional.


Jumlah operator yang terhitung sangat banyak jika dibandingkan jumlah di negara lain yang rata-rata cuma memiliki tiga operator, membuat persaingan bisnis telekomunikasi di Indonesia sangat ketat dan membuat tarif menyentuh batas terendah meski dari sisi EBITDA margin masih sangat tinggi.


Dari kondisi itu pula pada akhirnya belakangan mulai santer dibicarakan tentang niatan network sharing yang dianggap mampu menekan alokasi belanja modal (capital expenditure/capex) para pelaku industri telekomunikasi khususnya para operator seluler.


Dalih yang disampaikan dalam wacana network sharing ini menekankan benefit berupa efisiensi dalam pembangunan jaringan dengan cara menumpang kepada operator existing yang telah lebih dulu membuka jalan ekspansi dengan bersusah payah.


"Memang akan efisien, tapi efisiensi bukan satu-satunya tujuan yang ingin dicapai. Aspek persaingan usaha yang sehat yang menjadi dasar UU Telekomunikasi No. 36/1999 adalah yang paling pokok," kata Ridwan.


Itu sebabnya pula, ia berpendapat bahwa network sharing belum tentu diadopsi di Indonesia karena masih harus mempertimbangkan banyak aspek lainnya selain efisiensi.


"Yang perlu dibahas, kaitannya dengan persaingan usaha, modern licensing, serta aturan merger akuisisi. Semua faktor ini akan saling mempengaruhi," jelas Ridwan yang sudah dua periode di BRTI.


Ia juga tak mau network sharing nantinya malah dijadikan alasan bagi para operator untuk mangkir dari kewajiban pembangun jaringan karena menganggap sudah terpenuhi dengan cara hanya menumpang jaringan operator existing.


"Dari awal disusun UU Telekomunikasi No. 36/1999 semua operator sudah diberi lisensi nasional. Jadi kalau ada operator yang tidak kuat bangun (jaringan) secara nasional, kalau saya sarankan sih, kembalikan saja frekuensi ke negara, terus minta izinnya diganti jadi penyelenggara jasa alias MVNO," pungkasnya.


(rou/ash)