Rudiantara Tak Mau Terlalu Ketat Jadi Menkominfo

Jakarta - Sebagai menteri urusan ICT, Rudiantara tak mau terlalu ketat memberikan tekanan bagi industri. Selama ia masih dipercaya menjabat sebagai Menkominfo, ia berjanji akan selalu adil dan memberikan kemudahan agar industri ICT di Indonesia bisa tumbuh pesat.

“Seperti ikan, terlalu keras dipegang akan mati. Terlalu longgar juga bisa lepas dan kebablasan. Itu sebabnya saya tak mau terlalu ketat dan juga tidak terlalu longgar,” kata Chief RA, sapaan akrabnya di HUT ke-3 IndoTelko Forum di Balai Kartini, Jakarta.


Salah satu contoh kebijakan yang dianggap masih terlalu ketat adalah soal target penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Ia tak ingin Kominfo terlalu ketat dalam menetapkan target PNBP karena ingin mengejar multiplier effect dari sektor ICT.


“Tahun ini target PNBP sekitar Rp 13 triliun, tahun depan naik Rp 14 triliun. Saya sedang berpikir bagaimana caranya agar PNBP ini tidak terlalu tinggi, agar multiplier effect bisa terjadi di sektor ICT,” ujarnya.


Jika PNBP dibuat lebih rileks, industri bisa berputar lebih cepat karena regulatory charge yang dikeluarkan pelaku usaha menjadi turun. “PNBP ini seperti menarik di depan, kalau di-relaxing, nanti industri akan lebih cepat, negara masih aman penerimaan pajak dari PPN dan PPh. ICT menyentuh semua sektor, makanya kami ingin menjadi enabler pertumbuhan ekonomi nusantara,” katanya.


Diungkapkannya, nilai ekonomi di sektor ICT Indonesia sebenarnya cukup besar yakni berkisar USD 16,9 miliar atau setara Rp 109 triliun. Sedangkan estimasi kontribusi ke produk domestik bruto tahun ini sekitar 6%. Angka ini meningkat cukup pesat dari tahun 2001 yang hanya 1,3% meningkat menjadi sekitar 3% pada 2014.


Data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga kuartal ketiga 2014 sumbangsih sektor telekomunikasi dicatat senilai Rp 239,04 miliar atau 3,18% dari total PDB Rp 7,50 triliun. Jumlah tersebut bahkan lebih tinggi dari kontribusi sektor migas yang hanya Rp217,72 miliar.


Sekadar diketahui, pasokan PNBP di sektor telekomunikasi berasal dari Biaya Hak Penggunaan (BHP) jasa telekomunikasi, frekuensi, dan sumbangan Universal Service Obligation (USO). Untuk USO biasanya sekitar 1,25% dan BHP Telekomunikasi sebesar 0,5% dari pendapatan pelaku usaha. Sementara BHP frekuensi tergantung alokasi yang dimiliki. Dalam keuangan operator, regulatory charge bisa menyumbang sekitar 20%-25% bagi total biaya operasional.


President Director & CEO XL Axiata Hasnul Suhaimi menyambut gembira rencana tersebut karena bisa membuat operator menjadi lebih kencang berlari. “Bahkan jika kondisi keuangan operator itu rugi sekalipun, dia kan harus masih bayar pajak untuk transaksi yang terjadi. Kita sendiri bisa menjadi lebih efisien dan masyarakat menikmati tarif lebih terjangkau,” katanya.


(rou/ash)